Masalah kebangsaan merupakan persoaln yang amat mendesak bagi Eropa sebelum pecah Perang Dunia I. Tembakan yang dilepaskan oleh pemuda Serbia kearah Putera Mahkota Austria di Sarajevo memberi petanda pecahnya Perang Dunia I. Pemuda tersebut adalah seorang Serbia yang fanatik, yang berharap agar dengan pembunuhan ini, kehancuran struktur negara yang ada, dapat dipercepat, dan kemerdekaan rakyat serta pemisahannya dari kerajaan Austro-Hongaria dapat lebih cepat dilaksanakan. Seluruh periode ini, dari akhir abad ke 19 sampai permulaan abad ke 20, merupakan masa nasionalisme yang intens di Eropa Timur dan Balkan bagi berbagai-bagai golongan etnik yang berjuang untuk tercapainya suatu kehidupan tersendiri sebagai negara.
Dalam periode inilah terbit beberapa tulisan mengenai nasionalisme. Diantara penulis-penulis borjuis, terutama Renan menjadi terkenal karena studinya yang berjudul ”Qu’est ce qu’une nation”? (apakah natie, bangsa itu?) Kaum Sosialis juga dihadapkan pada persoalan nasionalisme ini. Otto Bauer adalah salah seorang penulis sosialis terpenting yang menulis tentang hal ini.
Maslah kebangsan dibagian dunia ini muncul dalam bentuk masalah minoritas-minoritas yang tertindas. Perjuangan golongan-golongan minoritas ini merupakan suatu perjuangan melawan diskriminasi, perjuangan melawan penindasan, perjuangan kearah penentuan nasib sendiri serta kebebasan, dan lebih-lebih lagi suatu perjuangan kearah mencapai kesempatan untuk maju. Pendeknya, ia merupakan suatu perjuangan bagi emansipasi golongan-golongan minoritas didalam kerangka struktur negara-negara, yang tidak lagi dapat mereka terima.
Oleh sebab itu nasionalisme muncul sebagai suatu bentuk perkembangan demokrasi. Ia merupakan bentuk luar daripada demokrasi itu. Kiranya inilah yang merupakan dasar bagi pernyataan Renan didalam memberi definisi tentang natie, yaitu ”la nation est une plebiscite tous les jours” (natie itu adalah suatu pemungutan suara rakyat yang terus menerus). Tipe nasionalisme ini dianggap sebagai suatu bentuk khusus daripada demokrasi, dan belum lagi menderita reputasi yang buruk, malah sebaliknya, seorang patriot bangsa dijunjung tinggi oleh semua orang yang berpikiran luas.
Hanya kaum sosialislah yang menjumpai kesukran didalam menilai kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada pecahnya negara-negara kedalam kesatuan-keastuan yang lebih kecil. Menurut interpretasi sebleumnya dari Marxisme dalam periode itu, kemajuan harus disertai oleh suatu perkembangan yang selaras dari kesatuan-kesatuan organisatoris disegala lapangan. Maka, banyak kaum sosialis yang cenderung untuk melihat perjuangan kemerdekaan golongan-golongan etnik didalam suatu negara, yang bertujuan memecah struktur negara itu, kedalam kesatuan-kesatuan yang lebih kecil, sebagai suatu gerakan mundur, reaksioner, dipandang dari jalannya sejarah; dan oleh sebab itu bertentangan dengan maksud dan tujuan kaum sosialis. Otto Bauer mencoba memperbaiki kesalahpahaman ini dalam karyannya tentang persoalan bangsa-bangsa. Di Rusia pun kaum sosialis Rusia dihadapkan pada persoalan-persoalan ini, dan Stalin telah pula berusaha mendapatkan suatu penyelesaian.
Setelahperang Dunia I, muncul di Eropa Tengah beberapa negara dan negara-negara yang baru. Austro-Hongaria pecah menjadi beberapa negara termasuk Cekoslowakia, Hongaria, dan sebagian dari Jugoslavia. Serbia juga terpecah menjadi beberapa negara baru, diantaranya ada yang menjadi sebagian dari Jugoslavia dan Albania.
Di Rusia, persoalan bangsa-bangsa dipecahkan dengan cara lain. Daerah kekuasaan Tsar secara formil pecah menjadi sejumlah negara, tetapi suatu diktator komunis mengikat semua negara-negara itu menjadi satu kembali kedalam apa yang dinamakan Federasi Republik. Namun demikian struktur federal yang formil ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, karena kekuasaan yang sesungguhnya di Uni Soviet sangat tersentralisir. Partai Komunis sendiri yang menguasai pemerintahan di semua negara di Uni Soviet, pun sangat dsentralisir dan dijalankan dengan suatu disiplin militer yang ketat.
Setelah periode ini. Persoalan nasioanalisme di Eropa agak menyelinap kelatar belakang.
Di Asia dan benua-benua lainnya, dimana orang masih hidup didalam kondisi-kondisi kolonial, gerakan-gerakan kebangsaan mulai timbul. Nasionalisme dibagian-bagian dunia ini di-identifisir sebagai perjuangan kemerdekaan dari rakyat-rakyat terjajah. Disini nasionalisme menjadi suatu perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan dan eksploitasi oleh bangsa-bangsa asing. Ia merupakan perjuangan melawan penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber utama dari penghasilan dan penghidupan rakyat yang terjajah atau terbelakang. Oleh sebab itu nasionalisme diasia, bukan saja merupakan perjuangan kearah suatu identitas tersendiri sebagai suatu bangsa, melainkan juga merupakan suatu perjuangan kelas yang sering kali menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk rasial yang hebat dan intens.
Selama nasionalisme terjajah di Asia dan Afrika ini merupakan perjuangan untuk menentukan nasibnya sendiri, ia menjelma dirinya dalam bentuk-bentuk demokratis yang terutama berpokok pada teori-teori Kedaulatan Rakyat serta Hak-hak Asasi Manusia. Tetapi dalam perjuangan melawan dominasi modal asing yang menguasai sumber-sumber pokok kehidupan mereka sebagai suatu bangsa, ia menunjukkan tendens-tendens anti kapitalis, dan didalam argumentasi-argumentasinya banyak sekali meminjam dari doktrin anti-kapitalisme dan anti imperialisme atau dengan perkataan lain, dari ajaran sosialisme.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa banyak kaum sosialis di Asia dan negara-negara terbelakang lainnya pada umumnya berasal dari kalangan-kalangan nasionalis. Suatu latar belakang yang nasionalistis bagi orang-orang sosialis atau orang-orang komunis di Asia, adalah suatu hal yang wajar. Oleh karenanya, nasianalisme bagi suatu negara dan rakyat yang terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kolonialisme, adalah suatu perjuangan yang revolusioner kearah emansipasi rakyatnya, dengan kata lain: suatu perjuangan bagi terwujudnya suatu eksistensi dan kedudukan yang setaraf dengan semua bangsa-bangsa merdeka dan maju lainnya.
Nasionalisme ini juga membawa benih-benih pembaharuan sosial dalam arti penolakkan terhadap kondisi-kondisi yang ada selama regime kolonial, seperti hubungan sosial yang Feodalistis serta Otokrasi kolonial .
Tapi yang lebih penting lagi adalah usaha untuk merubah struktur ekonomi kolonial menjadi suatu struktur nasional. Dengan perkataan lain, suatu usaha untuk mengakhiri dominasi modal asing didalam suatu negara dan untuk mengembangkan sumber-sumber ekonomi negara tersebut seluruhnya untuk kepentingan rakyatnya. Oleh sebab itu, nasionalisme dari rakyat terjajah dan tertindas tidak saja adil tapi juga progresif.
Setelah berakhirnay perang Dunia I, sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan revolusi sosial diberbagai negara, suatu bentuk baru dari nasionalisme timbil di Eropa. Nasionalisme ini dipupuk oleh perasaan-perasaan kecewa dan terhina dinegara-negara dimana dasar-dasar dari masyarakatnya telah sangat tergoncang oleh peperangan.
Manifestasi-manifestasi pertama ditemukan dalam Fasisme Italia. Mussolini, pemimpinnya, adalah seorang sosialis revolusioner yang kecewa. Pada masa itu, ia melihat demokrasi di Italia sebagai sebab utama dari stagnasi Italia. Untuk melawan demokrasi ini, ia menganjurkan suatu konsep penegakan kekuasaan untuk mengabdi kepada negara. Bagi dia, negara dan kemegahannya merupakan tujuan tertinggi didalam kehidupan setiap orang Italia. Hak-hak individu tidak penting bagi kehidupan negara, hanya kewajiban-kewajibannya terhadap negaralah yang penting. Ia beranggapan bahwa pentingnya kehidupan tidak terletak pada individu atau kepentingan umat manusia atau pada dunia sebagai suatu keseluruhan. Negara adalah tujuan termulia dan suatu kerangka untuk mempertegas lagi kemegahan negara. Kekuasaan muncul dalam bentuk suatu Diktatur . atas nama fasisme-doktrin dari kemuliaan negara-hak-hak kemanusiaan dan hak-hak demokrasi dicampakkan jauh-jauh. Pakaian seragam dan dentangan-dentangan senjata memenuhi pasar-pasar dinegeri itu. Ini menakutkan negara-negara tetangga, dan ketegangan-ketegangan pun timbul, sehingga memperbesar perasaan tidak aman yang dirasakan oleh umum.
Timbulnya bentuk-bentuk yang menonjol ini telah menimbulkan perasaan skeptis terhadap nasionalisme dan patriotisme, yang hanya mengakibatkan pembunuhan massal dan saling menghancurkan.
Dalam lingkungan-lingkungan sosialis, reaksi terhadap nasionalisme ini ialah bertambah besarnya militasi dikalangan apa yang dinamakan kaum internasionalis. Meraka memisahkan diri dari apa yang dinamakan internasionale II, yang dituduhnya telah menghianati perjuangan sosialis, karena kesediaan mereka untuk mengangkat senjata sebagai patriot melawan sesama kaum buruh dan kaum sosialis untuk kepentingan negaranya masing-masing, dan karena saling bunuh-membunuh. Karena, negara-negara tersebut adalah negara-negara kapitalis yang saling berperang didalam pertarungan yang bersifat imperialistis. Apa yang dinamakan kaum internasionalis diantara kaum sosialis ini, kemudian menyebut dirinya internasionale III. Lenin dan Trotzky menjadi pemimpin dari internasionale ini.
Bentuk fasis dari nasionalisme bukan saja sangat angkuh dan egoistis dengan cara yang mencolok, tetapi ia juga menyebabkan dirinya dirasakan sebagai, ancaman didalam lingkungan sendiri. Ia terang-terangan aggresif; kekuatannya bersumber pada suatu perasaan menganggap dirinya paling penting setara melampaui batas. Ia memperlakukan dunia seakan-akan dunia ini hanya ada untuk mengabdi pada fasisme demi kesenangannya. Nasionalisme ini bukan saja terang-terangan anti demokrasi, malahan ia tak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap demokrasi dan kemanusiaan. Ia memandang rendah kepada Demokrasi dan Humanitarisme sebagai gejala-gejala kelemahan dan degenerasi. Nasionalisme ini menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang memusuhi umat manusia.
Didalam Nasional-Sosialisme atau Nasismenya Hilter, jenis nasionalisme ini mengambil bentuknya yang paling repulsif. Pemujaan diri sendiri, Nafsu akan kekuasaan, Kekejaman dan Kekerasan, Kesewenang-wenangan tak terbatas didalam memperlakukan jiwa manusia, sifat Tak bisa dipercaya, serta Pemujaan dusta didalam propagandanya, merupakan sifat-sifat pokok dari nasionalisme yang histeris dan patologis ini. Timbullah suatu kebencian umum terhadap nasionalisme semacam ini, dan kadang-kadang timbul pemberontakan terhadapnya diantara sebagian umat manusia yang masih mempertahankan cara-cara berpikir yang sehat.
Sifat-sifat nasionalisme semacam inilah yang melenyapkan sama sekali kepercayaan orang terhadap nasionalisme. Orang mulai takut karena potensi-potensi ini didalam setiap bentuk nasionalisme. Orang mulai menganalisa fenomena nasionalisme ini dengan kacamata psikologi. Mereka menemukan bahwa sifat-sifat repulsif dari Nasionalisme-Sosialismenya Hilter ataupun dari Shintoisme, harus dianggap sebagai pertumbuhan abnormal dari unsur-unsur yang normal didalam susunan psikologi setiap bentuk nasionalisme. Unsur-unsur ini merupakan pertumbuhan dari hasrat-hasrat untuk mengidentifikir dirinya sebagai terpisah dari yang lain, hasrat-hasrat kearah ekspresi diri dan pembenaran diri sendiri. Hal-hal ini dengan mudah menyimpang dan berkembang menjadi egotisme dan suatu kehausan akan kekuasaan.
Ciri-ciri psikologis ini merupakan unsur-unsur dasar didalam susunan mental dari setiap bangsa dan setiap negara. Diantara bangsa-bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, perasaan untuk memiliki identitas tersendiri dan hasrat untuk memberikan ekspresi yang pantas baginya bersama-sama dengan hasrat untuk membenarkan diri. Adalah hal yang sangat menarik, karena itu merupakan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk memiliki suatu kepribadian, suatu individualitas.
Tetapi bagi mereka yang memiliki kemerdekaan, perasaan ini dapat berubah dan berkembang kearah keangkuhan dan egotisme nasional. Ia dapat berkembang secara patologis menjadi semacam penyakit seperti nasionalismenya Hilter, dimana pemujaan diri yang berlebih-lebihan serta penipuan diri, mau tak mau akan mengarah ke penghancuran diri sendiri, begitulah nasib negara-negara fasis dalam perang terakhir. Tetapi penghancuran diri ini telah terjadi dengan mengakibatkan kesengsaraan besar bagi umat manusia lainnya.
Sebegitu jauh kami telah memberikan gambaran tentang nasionalisme tanpa mencoba untuk mengemukakan berbagai keadaan yang memainkan peranan didalam menentukan sifat dan arah dari perkembangan nasionalisme itu. Faktor-faktor penting tentu saja adalah kondisi-kondisi ekonomi dinegara dimana nasionalisme ini didapatkan; golongan-golongan dan kelas mana dalam masyarakat yang bersangkutan merupakan pendukung-pendukung terpenting dari pada ide nasionalisme; dan keuntungan-keuntungan macam apa yang mereka harapkan akan dibawa oleh nasionalisme ini, baik bagi mereka sendiri maupun bagi golongan-golongan atau kelas-kelas didalam negeri atau diluar negeri.
Bagaimanapun juga, nasionalisme telah membuktikan, bahwa ia pada tempat pertama merupakan fenomena psikologis yang tidak dapat diterangkan secara memuaskan, hanya sebagai suatu proses yang rasionil atau suatu proses mental yang sadar yang bertujuan mendapatkan keuntungan, ataupun sebagai pembelaan diri suatu golongan atau kelas, apabila didalam searah kedudukannya terancam. Jelas sekali bahwa nasionalisme jarang sekali merupakan fenomena yang rasionil, dan oleh sebab itu sangat jarang pula dapat ditemukan motif-motif rasionil baginya.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, nasionalisme Hilter tidak saja irasionil tetapi juga patologis dan gila-gilaan. Begitu pula hanya dengan militerisme jepang yang memimpikan kekuasaan diatas seluruh dunia. Bagi ide-ide paranoid semacam ini tidak dapat ditemukan motif-motif rasionil. Juga tidak dapat ditemukan motif-motif ekonomis bagi pembunuhan masal, kekejama dan keganasan yang tak terkendalikan, yang telah dipertunjukkan oleh nasionalisme semacam ini pada masa yang lalu.
Untuk alasan ini maka lebih masuk diakal untuk mencari penjelasan didalam potensi-potensi psikologis ataupun psiko-patologis dari tingkah laku Kelompok-Manusia. Didalam hubungan kelompoklah manusia hidup lebih irasionil, terdorong oleh kekuatan-kekuatan dan naluri yang tidakdisadarinay sendiri. Didalam situasi seperti ini, kehidupannya sampai tingkat tertentu merupakan suatu proses dibawah sadar. Ia mengalami dengan sangat intens suatu perasaan aman dan pasti yang tidak dipilihnya, dan iapun hanyut dalam arus ini. Ia hidup dalam keadaan terangsang dalam kepastian-kepastian yang pada hakikatnya yang adalah prasangka-prasangka, tetapi yang kelihatannya cocok dengan hasrat-hasrat dan naluri-nalurinya.
Adalah penting untuk mengemukakan hal ini sehubungan dengan kenyataan bahwa kaum Marxis-Ortodox dan kaum Komunis-Kominform pada khususnya, suka sekali memamerkan apa yang dinamakan” pandangan-pandangan dan konsep-konsep Marxis” mengenai nasionalisme.
Komunisme-Kominform ini berusaha u8ntuk menjelaskan segala bentuk nasionalisme ini dengan istilah-istilah ekonomi. Ia berpendapat bahwa nasionalisme secara umum, tidak ada. Nasionalisme setiap negara harus dinilai seluruhnya didalam hubunga dengan struktur didalam negara tersebut serta masyarakatnya, serta hubungan-hubungannya dengan negara-negara luar. Nasionalisme ini dapat menjadi revolusioner, jika kelas-kelas yang memeluknya berjuang untuk tujuan-tujuan revolusioner. Suatu tipe khusus nasionalisme adalah reaksioner, kalau tujuan-tujuan dari kelas-kelas yang menganutnya adalah reaksioner. Jadi ukuran apa sajakah nasionalisme itu, reaksioner atau revolusioner, menurut komunis-komunform, adalah apakah kelas-kelas tersebut bertujuan untuk bersekutu dengan Rusia atau tidak. Itulah sebabnya mereka menganggap nasionalisme di R.R.T. sangat revolusioner, itulah sebabnya mereka menamakannya nasionalistis, dalam arti internasionalisme-proletariat; karena R.R.T. sekarang berada dilingkungan Soviet-Rusia. Itu pulalah sebabnya nasionalisme Tito dianggap lebih reaksioner, karena dimata kaum komunis-kominform, ia merupakan suatu nasionalisme borjuis yang pasti berakhir sebagai abdi dari super-imperialismenya Amerika.
Oleh sebab itu adalah mustahil untuk melekatkan nilai teoritis yang besar untuk apa yang dinamakan ”Konsep Nasionalisme” dari kaum internasionalis proletar. Dilain pihak, konsep ini memberi gambaran yang jelas pada kita tentang apa yang dianggap kaum komunis-kominform sebagai tugasnya didalam setiap gerakan nasionalis, terutama dinegara-negara terjajah dan tertindas, yaitu mereka harus berusaha membuat nasionalisme ini revolusioner sifatnya. Jalan yang paling pasti mencapai ini adalah mencoba untuk membuat pemimpin-pemimpin nasional itu untuk menjadi sekutunya. Kalau ini belum mungkin, maka menjadi kewajiban kaum komunis untuk menjadikan nasionalisme itu anti-Amerika dan pro-Rusia. Kalu ini gagal pula, maka nasionalisme kolonialitu harus dicap reaksioner dan menjilat pada super-imperialismenya Amerika.
Sikap komunis-kominform ini dikemukakan sebagai penetrapan termodern dari Internasionalisme-Proletar, yang bersumber pada seruan Internasionale terhadap kaum proletar dari seluruh negara-negara didunia. Kalimat terakhir dari manifesto politik menyerukan: ”Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah!” Manifesto komunis ini juga dengan tegas menyatakan bahwa: ”Didalam dunia kapitalis, kaum proletar tidak memiliki tanah air”. Pada suatu saat, didalam barisan Komunis-totaliter, ditemukan sesuatu yaitu bahwa kaum proletar dan kaum buruh ternyata mempunyai tanah air yaitu Soviet Rusia, tapi kemudian mereka sampai pada pendirian bahwa kaum buruh mempunyai tanah air, kalau tanah air tersebut menggabungkan diri pada Soviet Rusia.
Hal ini menunjukkan bahwa kaum komunis-kuminform terpaksa melihat nasionalisme sebagai suatu kejantanan. Tapi bagi mereka lebih penting lagi untuk memperlihatkan, bagaimana nasionalisme ini diperlakukan dan bagaimana dapat diambil keuntungannya untuk kepentingan komunis-kominform dan Soviet Rusia, dari pada mencoba untuk memformulir apa sebenarnya nasionalisme itu didalam kenyataan.
Selama perang dunia II, patriotisme dimana-mana dipuji dan dianjurkan sebagai suatu sikap yang tepat terhadap agresi fasis. Di Soviet Rusia, negara-negara eropa tengah dan Balkan, kaum komunis-kominform harus berusaha sekerasnya untuk menjai patriot-patriot terbaik melawan pendudukan dan agresi Fasis serta Nazi. Ini memang mengakibatkan suatu rangsangan terhadap sentimen-sentimen nasional di semua daerah-daerah ini. Perasaan individu dari bangsa-bangsa ini dan juga orang-orang komunis diantara mereka, sangat terangsang.
Setelah berakhirnya perang dunia II, hal ini menimbulkan ketegangan-ketegangan disemua negara-negara dimana tentara Rusia masuk sebagai pasukan pembebasan. Sejarah Yugoslavia merupakan contoh yang jelas dari perkembangan semacam ini. Tentara Rusia yang mula-mula disanjung sebagai pembebas, pada akhirnya dipandang sebagai pasukan penjajah asing. Komando komunis Rusia bertindak sebagai suatu kekuasaan asing yang berkeras untuk turut campur dalam persoalan dalam negeri Yugoslavia. Akhirnya, hubungan antar kedua negara seperti yang diidam-idamkan oleh Rusia, dirasakan oleh patriot-patriot komunis Yugoslavia yang memeganga tampuk pemerintahan, sebagai suatu usaha untuk mengeksploitir Yugoslavia dan membawanya kebawah telapak kaki Rusia. Komunis Rusia yang memperkenalkan dirinya sebagai internasionalisme-proletariat dituduh melakukan imperialisme terhadap rakyat Yugoslavia yang ingin membangun masyarakat sosialis sendiri.
Ketegangan-ketegangan dan kesukaran-kesukaran semacam itu tentunya juga terjadi dinegara-negara komunis baru di Eropa tengah dan Balkan, tetapi hanya di Yugoslavialah yang terjadi pertikaian terbuka. Didalam negara-negara lainnya itu, ketegangan-ketegangan tersebut dapat dikuasai, tetapi hanya dengan pertolongan apa yang dinamakan ”gerakan-gerakan pembersihan” kepada orang-orang komunis terkemuka, yang secara aktif telah berjuang melawan Fasis dan Nazisme di front-front patrotik.
Dalam hubungan ini R.R.T. masih merupakan tanda-tanda bagi banyak orang. Apakah internasionalisme-proletariat Rusia akan berani menempatkan negara besar yang beratus-ratus juta penduduknya itu dalam nasib yang sama seperti negara-negara satelit di Eropa, atau haruskah (ataupun dapatkah) mereka menganggap negara ini dan rakyatnya sebagai partner yang setaraf ? seandainya tidak, apakah pemimpin-pemimpin sekarang dari ”perang pembebasan” tidak perlu disingkirkan dan diadili sebagai kaum nasionalis ”borjuis kerdil”, agen-agen, serta mata-mata super-imperialisme Amerika ?
Kalau orang berpaling melihat kepada bangsa Rusia, setelah mereka selama 30 tahun lebih menjalankan praktek-praktek internasionalisme-proletar, maka ciri-ciri terkenal dari nasionalismenya, termasuk sifat-sifat yang menakutkan segera akan menumbuk mata orang luar.
Hal ini yang paling jelas terlihat dalam hal konflik antara Yugoslavia disatu pihak serta Kominform dan Rusia dilain pihak.
Jeritan: ”Imperialisme Soviet !” yang diucapkan oleh rakyat Yugoslavia yang dikenal sebagai pecinta Rusia, yang sebagai negara dan bangsa dipimpin oleh kaum komunis, dan yang seumur hidupnya telah menjadi kawan seperjuangan kaum komunis ang menguasai Rusia, bukanlah suatu tanda peringatan yang palsu. Mentalitas Rusia seperti yang sekarang diperlihatkan kepada dunia luar, hanya dapat disebut nasionalistis dalam arti yang ekstrim dan buruk. Ia merupakan sikap benar sendiri dan pemujaan diri yang ekstrim, mereka menyebut diri mereka sebagai bangsa yang terpilih didunia. Apa yang ada di Rusia adalah yang terbaik yang pernah terdapat didalam sejarah kemanusiaan. Segala penemuan-penemuan terpenting didunia sebenarnya adalah hasil dari gegigenie Rusia yang telah ada sejak dulu, lama sebelum kaum Boselvik mendapat kekuasaan dan lama sebelun Lenin atau Stalin dilahirkan, yaitu pada jaman tsar-tsar yang dibenci itu. Akan tetapi kebanggaan dan kesombongan Rusia dan sejarahnya itu, dianggap ”Revolusioner dan Internasionalistis-Proletar” karena ia memupuk cinta dan kasih sayang terhadap Rusia. Dinegara-negara lain, patriotisme semacam ini dengan mudah dapat menjurus kearah tuduhan-tuduhan ”Nasionalisme-Borjuis” dan ”Tendens-tendens reaksioner”.
Oleh sebab itu kiranya kami tidaklah menyama-ratakan berlebih-lebihan, kalau dikatakan, bahwa Nasionalisme dapat ditemukan dalam bentuk apapun, dinegara dan bangsa manapun, malah juga diantara wakil-wakil partai sosialis yang hadir dalam konverensi ini.
Tidaklah terlalu berlebih-lebihan kiranya untuk memberikan suatu ringkasan tentang ciri-ciri pokok dari pada nasionalisme, yaitu :
1. Hasrat untuk bersatu ( politik, ekonomi, kebudayaan, bahasa );
2. Hasrat untuk kemerdekaan nasional;
3. Hasrat untuk differensiasi individuil ( distinksi );
4. Hasrat untuk menjadi lebih unggul dari yang lain, serta hasrat untuk berbeda dari yang lain ( kehormatan, prestige dan pengaruh ).
Hal-hal ini dengan mudah dapat berkembang menjadi suatu hasrat akan pengaruh dan kekuasaan.
Pada setiap tipe nasionalisme melekat suatu tendens kearah egotisme dan
egosentrisme. Diantara rakyat-rakyat yang berjuang bagi kemerdekaannya, keinginan untuk mewujudkan kepribadiannya, tidak saja dapat dimengerti dan benar sifatnya, tetapi malahan perlu. Keinginan kearah penghargaan diri dan pembenaran diri secara lebih konkrit adalah perlu, karena hal-hal itu merupakan unsur-unsur utama dari pada hasrat untuk membebaskan diri dari perbudakan danagresi. Tetapi sering kali diantara rakyat-rakyat yang merdeka dan bebas, keinginan untuk differensiasi ini, merosot menjadi keangkuhan dan kebanggaan yang berlebih-lebihan. Maka nafsu untuk menjadi lebih unggul dari yang lain itu,
merosot menjadi amnisi dan nafsu kekuasaan, dan kemudian berubah menjadi psikologi imperialisme.
Motif-motif psikologis bagi imperialisme seperti yang disebutkan diatas, menjelmakan diri pada rakyat yang bersangkutan kedalam hasrat-hasrat yang tak disadari dan prasangka-prasangka. Meskipun motif-motif yang terpenting dari nasionalisme adalah irrasionil dan meskipun nasionalisme biasanya dirasakan dan menampakan dirinya sebagai suatu pandangan dunia yang emosionil, namun ada banyak pahlawan-pahlawan nasionalisme terkemuka yang sangat rasionil didalam mengeksploitir gerakan-gerakan nasionalis. Mereka dengan sengaja mempermainkan emosi-emosi massa untuk merangsang sentimen-sentimen tersebut kearah histeria. Banyak sekali tigkah-laku rasionil diperlihatkan didalam nafsu nasionalis akan kekuasaan. Nafsu itu menciptakan berbagai macam teori tentang nasionalisme, dari ras sampai pada teori ketidak-samaan dan ketidakadilan didalam kehidupan bangsa-bangsa.
Ketiga negara yang bersekutu didalam poros Axis, memandang diri mereka sebagai saudara-saudara yang kurang baik nasibnay diantara bangsa-bangsa. Mereka mengemukakan teori mengenai ”Haves” diantara bangsa-bangsa, yaitu bangsa-bangsa yang memiliki tanah-tanah jajahan, serta ”Have-Nots” yaitu bangsa-bangsa yang tidak mempunyai cukup ”Lebensraum” ( ruang hidup ), yang tercekik karena kelebihan penduduk dan tidak punya cukup ruang untuk hasrat mereka akan ekspansi. Ini adalah bangsa-bangsa yang menerut pikiran mereka sendiri, tidak memiliki tanah-tanah jajahan yamh cukup.
Nasional-sosialismenya Hitlernya juga mengemukakan alasan yang lain lagi bagi nasionalismenya yang agresif, dengan mengatakan bahwa jerman tertekan dan dibelenggu oleh Plutokrasi Internasinal ( yang hidup secara parasiter ). Agitasi dan propaganda nasionalistis didalam Nazisme dan Fasisme adalah berdasarkan perhitungan yang sama rapihnya seperti pada Komunisme-Kominform.
Setelah melihat nasionalisme dalam manifestasinya yang beraneka ragam, maka perlulah sekarang kita menguji nasionalisme bagi keperluan-keperluan jaman kita. Mereka yang melihat nasionalisme sebagai suatu sikap mental yang menghalang-halangi kemajuan umat manusia, berpendapat bahwa nasionalisme merupakan sebab psikologis utama dari ketegangan-ketegangan internasional dan ancaman-ancaman perang didunia ini. Nasionalisme dianggap menghambat kemajuan dunia, karena ia membagi-bagi dunia kedalam kompartemen-kompartemen dan tidak memungkinkan merasinalisir cara memerintah bangsa-bangsa didunia.
Pendapat ini sebagiannya benar. Akan tetapi mereka hanya berbicara tentang nasionalisme di negara-negara yang telah maju, terutama tentang nasionalisme yang agresif, ekspensif dan imperialistis. Memang nasionalisme semacam ini merupakan bahaya utama bagi perdamaian dunia. Nasionalisme pada nagsa-bangsa ini, terutama sekali ditandai oleh nafsu akan kekuasaan. Ia menjadi doktrin kekuasaan dan doktrin untuk memaksakan kehendak nasional terhadap bangsa-bangsa yang lebih lemah. Nasionalisme ini tidak toleran dan suka berperang, karena ia menganggap perjuangan dan peperangan sebagai pengalaman tertinggi dalaqm penentuan diri sendiri.
Sutan Sjahrir