Selasa, 30 November 2010

Nasionalisme dan Internasionalisme

Masalah kebangsaan merupakan persoaln yang amat mendesak bagi Eropa sebelum pecah Perang Dunia I. Tembakan yang dilepaskan oleh pemuda Serbia kearah Putera Mahkota Austria di Sarajevo memberi petanda pecahnya Perang Dunia I.  Pemuda tersebut adalah seorang Serbia yang fanatik, yang berharap agar dengan pembunuhan ini, kehancuran struktur negara yang ada, dapat dipercepat, dan kemerdekaan rakyat serta pemisahannya dari kerajaan Austro-Hongaria dapat lebih cepat dilaksanakan. Seluruh periode ini, dari akhir abad ke 19 sampai permulaan abad ke 20, merupakan masa nasionalisme yang intens di Eropa Timur dan Balkan bagi berbagai-bagai golongan etnik yang berjuang untuk tercapainya suatu kehidupan tersendiri sebagai negara.
Dalam periode inilah terbit beberapa tulisan mengenai nasionalisme. Diantara penulis-penulis borjuis, terutama Renan menjadi terkenal karena studinya yang berjudul ”Qu’est ce qu’une nation”? (apakah natie, bangsa itu?) Kaum Sosialis juga dihadapkan pada persoalan nasionalisme ini. Otto Bauer adalah salah seorang penulis sosialis terpenting yang menulis tentang hal ini.
Maslah kebangsan dibagian dunia ini muncul dalam bentuk masalah minoritas-minoritas yang tertindas. Perjuangan golongan-golongan minoritas ini merupakan suatu perjuangan melawan diskriminasi, perjuangan melawan penindasan, perjuangan kearah penentuan nasib sendiri serta kebebasan, dan lebih-lebih lagi suatu perjuangan kearah mencapai kesempatan untuk maju. Pendeknya, ia merupakan suatu perjuangan bagi emansipasi golongan-golongan minoritas didalam kerangka struktur negara-negara, yang tidak lagi dapat mereka terima.
Oleh sebab itu nasionalisme muncul sebagai suatu bentuk perkembangan demokrasi. Ia merupakan bentuk luar daripada demokrasi itu. Kiranya inilah yang merupakan dasar bagi pernyataan Renan didalam memberi definisi tentang natie, yaitu ”la nation est une plebiscite tous les jours” (natie itu adalah suatu pemungutan suara rakyat yang terus menerus). Tipe nasionalisme ini dianggap sebagai suatu bentuk khusus daripada demokrasi, dan belum lagi menderita reputasi yang buruk, malah sebaliknya, seorang patriot bangsa dijunjung tinggi oleh semua orang yang berpikiran luas.
Hanya kaum sosialislah yang menjumpai kesukran didalam menilai kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada pecahnya negara-negara kedalam kesatuan-keastuan yang lebih kecil. Menurut interpretasi sebleumnya dari Marxisme dalam periode itu, kemajuan harus disertai oleh suatu perkembangan yang selaras dari kesatuan-kesatuan organisatoris disegala lapangan. Maka, banyak kaum sosialis yang cenderung untuk melihat perjuangan kemerdekaan golongan-golongan etnik didalam suatu negara, yang bertujuan memecah struktur negara itu, kedalam kesatuan-kesatuan yang lebih kecil, sebagai suatu gerakan mundur, reaksioner, dipandang dari jalannya sejarah; dan oleh sebab itu bertentangan dengan maksud dan tujuan kaum sosialis. Otto Bauer mencoba memperbaiki kesalahpahaman ini dalam karyannya tentang persoalan bangsa-bangsa. Di Rusia pun kaum sosialis Rusia dihadapkan pada persoalan-persoalan ini, dan Stalin telah pula berusaha mendapatkan suatu penyelesaian.
Setelahperang Dunia I, muncul di Eropa Tengah beberapa negara dan negara-negara yang baru. Austro-Hongaria pecah menjadi beberapa negara termasuk Cekoslowakia, Hongaria, dan sebagian dari Jugoslavia. Serbia juga terpecah menjadi beberapa negara baru, diantaranya ada yang menjadi sebagian dari Jugoslavia dan Albania.
Di Rusia, persoalan bangsa-bangsa dipecahkan dengan cara lain. Daerah kekuasaan Tsar secara formil pecah menjadi sejumlah negara, tetapi suatu diktator komunis mengikat semua negara-negara itu menjadi satu kembali kedalam apa yang dinamakan Federasi Republik. Namun demikian struktur  federal yang formil ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, karena kekuasaan yang sesungguhnya di Uni Soviet sangat tersentralisir. Partai Komunis sendiri yang menguasai pemerintahan di semua negara di Uni Soviet, pun sangat dsentralisir dan dijalankan dengan suatu disiplin militer yang ketat.
Setelah periode ini. Persoalan nasioanalisme di Eropa agak menyelinap kelatar belakang.
Di Asia dan benua-benua lainnya, dimana orang masih hidup didalam kondisi-kondisi kolonial, gerakan-gerakan kebangsaan mulai timbul. Nasionalisme dibagian-bagian dunia ini di-identifisir sebagai perjuangan kemerdekaan dari rakyat-rakyat terjajah. Disini nasionalisme menjadi suatu perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan dan eksploitasi oleh bangsa-bangsa asing. Ia merupakan perjuangan melawan penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber utama dari penghasilan dan penghidupan rakyat yang terjajah atau terbelakang. Oleh sebab itu nasionalisme diasia, bukan saja merupakan perjuangan kearah suatu identitas tersendiri sebagai suatu bangsa, melainkan juga merupakan suatu perjuangan kelas yang sering kali menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk rasial yang hebat dan intens.
Selama nasionalisme terjajah di Asia dan Afrika ini merupakan perjuangan untuk menentukan nasibnya sendiri, ia menjelma dirinya dalam bentuk-bentuk demokratis yang terutama berpokok pada teori-teori Kedaulatan Rakyat serta Hak-hak Asasi Manusia. Tetapi dalam perjuangan melawan dominasi modal asing yang menguasai sumber-sumber pokok kehidupan mereka sebagai suatu bangsa, ia menunjukkan tendens-tendens anti kapitalis, dan didalam argumentasi-argumentasinya banyak sekali meminjam dari doktrin anti-kapitalisme dan anti imperialisme atau dengan perkataan lain, dari ajaran sosialisme.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa banyak kaum sosialis di Asia dan negara-negara terbelakang lainnya pada umumnya berasal dari kalangan-kalangan nasionalis. Suatu latar belakang yang nasionalistis bagi orang-orang sosialis atau orang-orang komunis di Asia, adalah suatu hal yang wajar. Oleh karenanya, nasianalisme bagi suatu negara dan rakyat yang terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kolonialisme, adalah suatu perjuangan yang revolusioner kearah emansipasi rakyatnya, dengan kata lain: suatu perjuangan bagi terwujudnya suatu eksistensi dan kedudukan yang setaraf dengan semua bangsa-bangsa merdeka dan maju lainnya.
Nasionalisme ini juga membawa benih-benih pembaharuan sosial dalam arti penolakkan terhadap kondisi-kondisi yang ada selama regime kolonial, seperti hubungan sosial yang  Feodalistis serta Otokrasi kolonial .
Tapi yang lebih penting lagi adalah usaha untuk merubah struktur ekonomi kolonial menjadi suatu struktur nasional. Dengan perkataan lain, suatu usaha untuk mengakhiri dominasi modal asing didalam suatu negara dan untuk mengembangkan sumber-sumber ekonomi negara tersebut seluruhnya untuk kepentingan rakyatnya. Oleh sebab itu, nasionalisme dari rakyat terjajah dan tertindas tidak saja adil tapi juga progresif.
Setelah berakhirnay perang Dunia I, sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan revolusi sosial diberbagai negara, suatu bentuk baru dari nasionalisme timbil di Eropa. Nasionalisme ini dipupuk oleh perasaan-perasaan kecewa dan terhina dinegara-negara dimana dasar-dasar dari masyarakatnya telah sangat tergoncang oleh peperangan.
Manifestasi-manifestasi pertama ditemukan dalam Fasisme Italia. Mussolini, pemimpinnya, adalah seorang sosialis revolusioner yang kecewa. Pada masa itu, ia melihat demokrasi di Italia sebagai sebab utama dari stagnasi Italia. Untuk melawan demokrasi ini, ia menganjurkan suatu konsep penegakan kekuasaan untuk mengabdi kepada negara. Bagi dia, negara dan kemegahannya merupakan tujuan tertinggi didalam kehidupan setiap orang Italia. Hak-hak individu tidak penting bagi kehidupan negara, hanya kewajiban-kewajibannya terhadap negaralah yang penting. Ia beranggapan bahwa pentingnya kehidupan tidak terletak pada individu atau kepentingan umat manusia atau pada dunia sebagai suatu keseluruhan. Negara adalah tujuan termulia dan suatu kerangka untuk mempertegas lagi kemegahan negara. Kekuasaan muncul dalam bentuk suatu Diktatur . atas nama fasisme-doktrin dari kemuliaan negara-hak-hak kemanusiaan dan hak-hak demokrasi dicampakkan jauh-jauh. Pakaian seragam dan dentangan-dentangan senjata memenuhi pasar-pasar dinegeri itu. Ini menakutkan negara-negara tetangga, dan ketegangan-ketegangan pun timbul, sehingga memperbesar perasaan tidak aman yang dirasakan oleh umum.
Timbulnya bentuk-bentuk yang menonjol ini telah menimbulkan perasaan skeptis terhadap nasionalisme dan patriotisme, yang hanya mengakibatkan pembunuhan massal dan saling menghancurkan.
Dalam lingkungan-lingkungan sosialis, reaksi terhadap nasionalisme ini ialah bertambah besarnya militasi dikalangan apa yang dinamakan kaum internasionalis. Meraka memisahkan diri dari apa yang dinamakan internasionale II, yang dituduhnya telah menghianati perjuangan sosialis, karena kesediaan mereka  untuk mengangkat senjata sebagai patriot melawan sesama kaum buruh dan kaum sosialis untuk kepentingan negaranya masing-masing, dan karena saling bunuh-membunuh. Karena, negara-negara tersebut adalah negara-negara kapitalis yang saling berperang didalam pertarungan yang bersifat imperialistis. Apa yang dinamakan kaum internasionalis diantara kaum sosialis ini, kemudian menyebut dirinya internasionale III. Lenin dan Trotzky menjadi pemimpin dari internasionale ini.
Bentuk fasis dari nasionalisme bukan saja sangat angkuh dan egoistis dengan cara yang mencolok, tetapi ia juga menyebabkan dirinya dirasakan sebagai, ancaman didalam lingkungan sendiri. Ia terang-terangan aggresif; kekuatannya bersumber pada suatu perasaan menganggap dirinya paling penting setara melampaui batas. Ia memperlakukan dunia seakan-akan dunia ini hanya ada untuk mengabdi pada fasisme demi kesenangannya. Nasionalisme ini bukan saja terang-terangan anti demokrasi, malahan ia tak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap demokrasi dan kemanusiaan. Ia memandang rendah kepada Demokrasi dan Humanitarisme sebagai gejala-gejala kelemahan dan degenerasi. Nasionalisme ini menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang memusuhi umat manusia.
Didalam Nasional-Sosialisme atau Nasismenya Hilter, jenis nasionalisme ini mengambil bentuknya yang paling repulsif. Pemujaan diri sendiri, Nafsu akan kekuasaan, Kekejaman dan Kekerasan, Kesewenang-wenangan tak terbatas didalam memperlakukan jiwa manusia, sifat Tak bisa dipercaya, serta Pemujaan dusta didalam propagandanya, merupakan sifat-sifat pokok dari nasionalisme yang histeris dan patologis ini. Timbullah suatu kebencian umum terhadap nasionalisme semacam ini, dan kadang-kadang timbul pemberontakan terhadapnya diantara sebagian umat manusia yang masih mempertahankan cara-cara berpikir yang sehat.
Sifat-sifat nasionalisme semacam inilah yang melenyapkan sama sekali kepercayaan orang terhadap nasionalisme. Orang mulai takut karena potensi-potensi ini didalam setiap bentuk nasionalisme. Orang mulai menganalisa fenomena nasionalisme ini dengan kacamata psikologi. Mereka menemukan bahwa sifat-sifat repulsif dari Nasionalisme-Sosialismenya Hilter ataupun dari Shintoisme, harus dianggap sebagai pertumbuhan abnormal dari unsur-unsur yang normal didalam susunan psikologi setiap bentuk nasionalisme. Unsur-unsur ini merupakan pertumbuhan dari hasrat-hasrat untuk mengidentifikir dirinya sebagai terpisah dari yang lain, hasrat-hasrat kearah ekspresi diri dan pembenaran diri sendiri. Hal-hal ini dengan mudah menyimpang dan berkembang menjadi egotisme dan suatu kehausan akan kekuasaan.
Ciri-ciri psikologis ini merupakan unsur-unsur dasar didalam susunan mental dari setiap bangsa dan setiap negara. Diantara bangsa-bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, perasaan untuk memiliki identitas tersendiri dan hasrat untuk memberikan ekspresi yang pantas baginya bersama-sama dengan hasrat untuk membenarkan diri. Adalah hal yang sangat menarik, karena itu merupakan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk memiliki suatu kepribadian, suatu individualitas.
Tetapi bagi mereka yang memiliki kemerdekaan, perasaan ini dapat berubah dan berkembang kearah keangkuhan dan egotisme nasional. Ia dapat berkembang secara patologis menjadi semacam penyakit seperti nasionalismenya Hilter, dimana pemujaan diri yang berlebih-lebihan serta penipuan diri, mau tak mau akan mengarah ke penghancuran diri sendiri, begitulah nasib negara-negara fasis dalam perang terakhir. Tetapi penghancuran diri ini telah terjadi dengan mengakibatkan kesengsaraan besar bagi umat manusia lainnya.
Sebegitu jauh kami telah memberikan gambaran tentang nasionalisme tanpa mencoba untuk mengemukakan berbagai keadaan yang memainkan peranan didalam menentukan sifat dan arah dari perkembangan nasionalisme itu. Faktor-faktor penting tentu saja adalah kondisi-kondisi ekonomi dinegara dimana nasionalisme ini didapatkan; golongan-golongan dan kelas mana dalam masyarakat yang bersangkutan merupakan pendukung-pendukung terpenting dari pada ide nasionalisme; dan keuntungan-keuntungan macam apa yang mereka harapkan akan dibawa oleh nasionalisme ini, baik bagi mereka sendiri maupun bagi golongan-golongan atau kelas-kelas didalam negeri atau diluar negeri.
Bagaimanapun juga, nasionalisme telah membuktikan, bahwa ia pada tempat pertama merupakan fenomena psikologis yang tidak dapat diterangkan secara memuaskan, hanya sebagai suatu proses yang rasionil atau suatu proses mental yang sadar yang bertujuan mendapatkan keuntungan, ataupun sebagai pembelaan diri suatu golongan atau kelas, apabila didalam searah kedudukannya terancam. Jelas sekali bahwa nasionalisme jarang sekali merupakan fenomena yang rasionil, dan oleh sebab itu sangat jarang pula dapat ditemukan motif-motif rasionil baginya.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, nasionalisme Hilter tidak saja irasionil tetapi juga patologis dan gila-gilaan. Begitu pula hanya dengan militerisme jepang yang memimpikan kekuasaan diatas seluruh dunia. Bagi ide-ide paranoid semacam ini tidak dapat ditemukan motif-motif rasionil. Juga tidak dapat ditemukan motif-motif ekonomis bagi pembunuhan masal, kekejama dan keganasan  yang tak terkendalikan, yang telah dipertunjukkan oleh nasionalisme semacam ini pada masa yang lalu.
Untuk alasan ini maka lebih masuk diakal untuk mencari penjelasan didalam potensi-potensi psikologis ataupun psiko-patologis dari tingkah laku Kelompok-Manusia. Didalam hubungan kelompoklah manusia hidup lebih irasionil, terdorong oleh kekuatan-kekuatan dan naluri yang tidakdisadarinay sendiri. Didalam situasi seperti ini, kehidupannya sampai tingkat tertentu merupakan suatu proses dibawah sadar. Ia mengalami dengan sangat intens suatu perasaan aman dan pasti yang tidak dipilihnya, dan iapun hanyut dalam arus ini. Ia hidup dalam keadaan terangsang dalam kepastian-kepastian yang pada hakikatnya yang adalah prasangka-prasangka, tetapi yang kelihatannya cocok dengan hasrat-hasrat dan naluri-nalurinya.
Adalah penting untuk mengemukakan hal ini sehubungan dengan kenyataan bahwa kaum Marxis-Ortodox dan kaum Komunis-Kominform pada khususnya, suka sekali memamerkan apa yang dinamakan” pandangan-pandangan dan konsep-konsep Marxis” mengenai nasionalisme.      
Komunisme-Kominform ini berusaha u8ntuk menjelaskan segala bentuk nasionalisme ini dengan istilah-istilah ekonomi. Ia berpendapat bahwa nasionalisme secara umum, tidak ada. Nasionalisme setiap negara harus dinilai seluruhnya didalam hubunga dengan struktur didalam negara tersebut serta masyarakatnya, serta hubungan-hubungannya dengan negara-negara luar. Nasionalisme ini dapat menjadi revolusioner, jika kelas-kelas yang memeluknya berjuang untuk tujuan-tujuan revolusioner. Suatu tipe khusus nasionalisme adalah reaksioner, kalau tujuan-tujuan dari kelas-kelas yang menganutnya adalah reaksioner. Jadi ukuran apa sajakah nasionalisme itu, reaksioner atau revolusioner, menurut komunis-komunform, adalah apakah kelas-kelas tersebut bertujuan untuk bersekutu dengan Rusia atau tidak. Itulah sebabnya mereka menganggap nasionalisme di R.R.T. sangat revolusioner, itulah sebabnya mereka menamakannya nasionalistis, dalam arti internasionalisme-proletariat; karena R.R.T. sekarang berada dilingkungan Soviet-Rusia. Itu pulalah sebabnya nasionalisme Tito dianggap lebih reaksioner, karena dimata kaum komunis-kominform, ia merupakan suatu nasionalisme borjuis yang pasti berakhir sebagai abdi dari super-imperialismenya Amerika.
Oleh sebab itu adalah mustahil untuk melekatkan nilai teoritis yang besar untuk apa yang dinamakan ”Konsep Nasionalisme” dari kaum internasionalis proletar. Dilain pihak, konsep ini memberi gambaran yang jelas pada kita tentang apa yang dianggap kaum komunis-kominform sebagai tugasnya didalam setiap gerakan nasionalis, terutama dinegara-negara terjajah dan tertindas, yaitu mereka harus berusaha membuat nasionalisme ini revolusioner sifatnya. Jalan yang paling pasti mencapai ini adalah mencoba untuk membuat pemimpin-pemimpin nasional itu untuk menjadi sekutunya. Kalau ini belum mungkin, maka menjadi kewajiban kaum komunis untuk menjadikan nasionalisme itu anti-Amerika dan pro-Rusia. Kalu ini gagal pula, maka nasionalisme kolonialitu harus dicap reaksioner dan menjilat pada super-imperialismenya Amerika.
Sikap komunis-kominform ini dikemukakan sebagai penetrapan termodern dari Internasionalisme-Proletar, yang bersumber pada seruan Internasionale terhadap kaum proletar dari seluruh negara-negara didunia. Kalimat terakhir dari manifesto politik menyerukan: ”Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah!” Manifesto komunis ini juga dengan tegas menyatakan bahwa: ”Didalam dunia kapitalis, kaum proletar tidak memiliki tanah air”. Pada suatu saat, didalam barisan Komunis-totaliter, ditemukan sesuatu yaitu bahwa kaum proletar dan kaum buruh ternyata mempunyai tanah air yaitu Soviet Rusia, tapi kemudian mereka sampai pada pendirian bahwa kaum buruh mempunyai tanah air, kalau tanah air tersebut menggabungkan diri pada Soviet Rusia.
Hal ini menunjukkan bahwa kaum komunis-kuminform terpaksa melihat nasionalisme sebagai suatu kejantanan. Tapi bagi mereka lebih penting lagi untuk memperlihatkan, bagaimana nasionalisme ini diperlakukan dan bagaimana dapat diambil keuntungannya untuk kepentingan komunis-kominform dan Soviet Rusia, dari pada mencoba untuk memformulir apa sebenarnya nasionalisme itu didalam kenyataan.
Selama perang dunia II, patriotisme dimana-mana dipuji dan dianjurkan sebagai suatu sikap yang tepat terhadap agresi fasis. Di Soviet Rusia, negara-negara eropa tengah dan Balkan, kaum komunis-kominform harus berusaha sekerasnya untuk menjai patriot-patriot terbaik melawan pendudukan dan agresi Fasis serta Nazi. Ini memang mengakibatkan suatu rangsangan terhadap sentimen-sentimen nasional di semua daerah-daerah ini. Perasaan individu dari bangsa-bangsa ini dan juga orang-orang komunis diantara mereka, sangat terangsang.
Setelah berakhirnya perang dunia II, hal ini menimbulkan ketegangan-ketegangan disemua negara-negara dimana tentara Rusia masuk sebagai pasukan pembebasan. Sejarah Yugoslavia merupakan contoh yang  jelas dari perkembangan semacam ini. Tentara Rusia yang mula-mula disanjung sebagai pembebas, pada akhirnya dipandang sebagai pasukan penjajah asing. Komando komunis Rusia bertindak sebagai suatu kekuasaan asing yang berkeras untuk turut campur dalam persoalan dalam negeri Yugoslavia. Akhirnya, hubungan antar kedua negara seperti yang diidam-idamkan oleh Rusia, dirasakan oleh patriot-patriot komunis Yugoslavia yang memeganga tampuk pemerintahan, sebagai suatu usaha untuk mengeksploitir Yugoslavia dan membawanya kebawah telapak kaki Rusia. Komunis Rusia yang memperkenalkan dirinya sebagai internasionalisme-proletariat dituduh melakukan imperialisme terhadap rakyat Yugoslavia yang ingin membangun masyarakat sosialis sendiri.
Ketegangan-ketegangan dan kesukaran-kesukaran semacam itu tentunya juga terjadi dinegara-negara komunis baru di Eropa tengah dan Balkan, tetapi hanya di Yugoslavialah yang terjadi pertikaian terbuka. Didalam negara-negara lainnya itu, ketegangan-ketegangan tersebut dapat dikuasai, tetapi hanya dengan pertolongan apa yang dinamakan ”gerakan-gerakan pembersihan” kepada orang-orang komunis terkemuka, yang secara aktif telah berjuang melawan Fasis dan Nazisme di front-front patrotik.
Dalam hubungan ini R.R.T. masih merupakan tanda-tanda bagi banyak orang. Apakah internasionalisme-proletariat Rusia akan berani menempatkan negara besar yang beratus-ratus juta penduduknya itu dalam nasib yang sama seperti negara-negara satelit di Eropa, atau haruskah (ataupun dapatkah) mereka menganggap negara ini dan rakyatnya sebagai partner yang setaraf ? seandainya tidak, apakah pemimpin-pemimpin sekarang dari ”perang pembebasan” tidak perlu disingkirkan dan diadili sebagai kaum nasionalis ”borjuis kerdil”, agen-agen, serta mata-mata super-imperialisme Amerika ?
Kalau orang berpaling melihat kepada bangsa Rusia, setelah mereka selama 30 tahun lebih menjalankan praktek-praktek internasionalisme-proletar, maka ciri-ciri terkenal dari nasionalismenya, termasuk sifat-sifat yang menakutkan segera akan menumbuk mata orang luar.
Hal ini yang paling jelas terlihat dalam hal konflik antara Yugoslavia disatu pihak serta Kominform dan Rusia dilain pihak.
Jeritan: ”Imperialisme Soviet !” yang diucapkan oleh rakyat Yugoslavia yang dikenal sebagai pecinta Rusia, yang sebagai negara dan bangsa dipimpin oleh kaum komunis, dan yang seumur hidupnya telah menjadi kawan seperjuangan kaum komunis ang menguasai Rusia, bukanlah suatu tanda peringatan yang palsu. Mentalitas Rusia seperti yang sekarang diperlihatkan kepada dunia luar, hanya dapat disebut nasionalistis dalam arti yang ekstrim dan buruk. Ia merupakan sikap benar sendiri dan pemujaan diri yang ekstrim, mereka menyebut diri mereka sebagai bangsa yang terpilih didunia. Apa yang ada di Rusia adalah yang terbaik yang pernah terdapat didalam sejarah kemanusiaan. Segala penemuan-penemuan terpenting didunia sebenarnya adalah hasil dari gegigenie Rusia yang telah ada sejak dulu, lama sebelum kaum Boselvik mendapat kekuasaan dan lama sebelun Lenin atau Stalin dilahirkan, yaitu pada jaman tsar-tsar yang dibenci itu. Akan tetapi kebanggaan dan kesombongan Rusia dan sejarahnya itu, dianggap ”Revolusioner dan Internasionalistis-Proletar” karena ia memupuk cinta dan kasih sayang terhadap Rusia. Dinegara-negara lain, patriotisme semacam ini dengan mudah dapat menjurus kearah tuduhan-tuduhan ”Nasionalisme-Borjuis” dan ”Tendens-tendens reaksioner”.
Oleh sebab itu kiranya kami tidaklah menyama-ratakan berlebih-lebihan, kalau dikatakan, bahwa Nasionalisme dapat ditemukan dalam bentuk apapun, dinegara dan bangsa manapun, malah juga diantara wakil-wakil partai sosialis yang hadir dalam konverensi ini.
Tidaklah terlalu berlebih-lebihan kiranya untuk memberikan suatu ringkasan tentang ciri-ciri pokok dari pada nasionalisme, yaitu :
1.  Hasrat untuk bersatu ( politik, ekonomi, kebudayaan, bahasa );
2.  Hasrat untuk kemerdekaan nasional;
3.  Hasrat untuk differensiasi individuil ( distinksi );
4.  Hasrat untuk menjadi lebih unggul dari yang lain, serta hasrat untuk berbeda dari yang lain ( kehormatan, prestige dan pengaruh ).

Hal-hal ini dengan mudah dapat berkembang menjadi suatu hasrat akan pengaruh dan kekuasaan.
Pada setiap tipe nasionalisme melekat suatu tendens kearah egotisme dan

egosentrisme. Diantara rakyat-rakyat yang berjuang bagi kemerdekaannya, keinginan untuk mewujudkan kepribadiannya, tidak saja dapat dimengerti dan benar sifatnya, tetapi malahan perlu. Keinginan kearah penghargaan diri dan pembenaran diri secara lebih konkrit adalah perlu, karena hal-hal itu merupakan unsur-unsur utama dari pada hasrat untuk membebaskan diri dari perbudakan danagresi. Tetapi sering kali diantara rakyat-rakyat yang merdeka dan bebas, keinginan untuk differensiasi ini, merosot menjadi keangkuhan dan kebanggaan yang berlebih-lebihan. Maka nafsu untuk menjadi lebih unggul dari yang lain itu,

merosot menjadi amnisi dan nafsu kekuasaan, dan kemudian berubah menjadi psikologi imperialisme.
          Motif-motif psikologis bagi imperialisme seperti yang disebutkan diatas, menjelmakan diri pada rakyat yang bersangkutan kedalam hasrat-hasrat yang tak disadari dan prasangka-prasangka. Meskipun motif-motif yang terpenting dari nasionalisme adalah irrasionil dan meskipun nasionalisme biasanya dirasakan dan menampakan dirinya sebagai suatu pandangan dunia yang emosionil, namun ada banyak pahlawan-pahlawan nasionalisme  terkemuka yang sangat rasionil didalam mengeksploitir gerakan-gerakan nasionalis. Mereka dengan sengaja mempermainkan emosi-emosi massa untuk merangsang sentimen-sentimen tersebut kearah histeria. Banyak sekali tigkah-laku rasionil diperlihatkan didalam nafsu nasionalis akan kekuasaan. Nafsu itu menciptakan berbagai macam teori tentang nasionalisme, dari ras sampai pada teori ketidak-samaan dan ketidakadilan didalam kehidupan bangsa-bangsa.
          Ketiga negara yang bersekutu didalam poros Axis, memandang diri mereka sebagai saudara-saudara yang kurang baik nasibnay diantara bangsa-bangsa. Mereka mengemukakan teori mengenai ”Haves” diantara bangsa-bangsa, yaitu bangsa-bangsa yang memiliki tanah-tanah jajahan, serta ”Have-Nots” yaitu bangsa-bangsa yang tidak mempunyai cukup ”Lebensraum” ( ruang hidup ), yang tercekik karena kelebihan penduduk dan tidak punya cukup ruang untuk hasrat mereka akan ekspansi. Ini adalah bangsa-bangsa yang menerut pikiran mereka sendiri, tidak memiliki tanah-tanah jajahan yamh cukup.
          Nasional-sosialismenya Hitlernya juga mengemukakan alasan yang lain lagi bagi nasionalismenya yang agresif, dengan mengatakan bahwa jerman tertekan dan dibelenggu oleh Plutokrasi Internasinal ( yang hidup secara parasiter ). Agitasi dan propaganda nasionalistis didalam Nazisme dan Fasisme adalah berdasarkan perhitungan yang sama rapihnya seperti pada Komunisme-Kominform.
          Setelah melihat nasionalisme dalam manifestasinya yang beraneka ragam, maka perlulah sekarang kita menguji nasionalisme bagi keperluan-keperluan jaman kita. Mereka yang melihat nasionalisme sebagai suatu sikap mental yang menghalang-halangi kemajuan umat manusia, berpendapat bahwa nasionalisme merupakan sebab psikologis utama dari ketegangan-ketegangan internasional dan ancaman-ancaman perang didunia ini. Nasionalisme dianggap menghambat kemajuan dunia, karena ia membagi-bagi dunia kedalam kompartemen-kompartemen dan tidak memungkinkan merasinalisir cara memerintah bangsa-bangsa didunia.
          Pendapat ini sebagiannya benar. Akan tetapi mereka hanya berbicara tentang nasionalisme di negara-negara yang telah maju, terutama tentang nasionalisme yang agresif, ekspensif dan imperialistis. Memang nasionalisme semacam ini merupakan bahaya utama bagi perdamaian dunia. Nasionalisme pada nagsa-bangsa ini, terutama sekali ditandai oleh nafsu akan kekuasaan. Ia menjadi doktrin kekuasaan dan doktrin untuk memaksakan kehendak nasional terhadap bangsa-bangsa yang lebih lemah. Nasionalisme ini tidak toleran dan suka berperang, karena ia menganggap perjuangan dan peperangan sebagai pengalaman tertinggi dalaqm penentuan diri sendiri.


Sutan Sjahrir

Sosialisme dan Pimpinan

Beberapa hari yang lalu datang sebagai utusan dari pada Gerakan Mahasiswa Sosialis Bandung pada  saya saudara Siagiaan untuk mengundang mengadakan sebuah ceramah pada hari peringatan Dies Natalis GMS di Bandung. Ketika saya tanyakan padanya tentang apa saja ceramah yang dikehendaki itu, diserahkannya saya untuk menentukannya. Tak pula kurang banyaknya hal serta soal yang dewasa ini dampaknya dapat dikemukakan didalam suatu rapat yang diadakan sekarang ini. Sungguh tidak kurang banyaknya soal yang kita hadapi tiap hari adalah kehidupan kita dalam masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tentu saja pada peringatan Dies Natalis Gerakan Mahasiswa Sosialisseharusnya ataupun sebaiknya soal yang saya hendak kemukakan itu adalah persoalan Sosialisme pula, dan kalau dapat adalah pula soal yang dapat ditinjau dari sudut kepentingan serta keperluan Gerakan Sosialis pada umumnya serta Gerakan Sosialis di Indonesia pada khususnya. Sekedar memikirkannya, saya pilih untuk mengemukakan pada rapat malam ini, soal Pimpinan dalam dan untuk alam serta Gerakan Sosialis.
Saya pilih soal ini supaya kita jadikan acara pembicaraan pada malam ini, oleh karena, pada hemat saya soal dan persoalan pimpinan diwaktu yang akan datang akan menjadi persoalan kehidupan kita sebagai bangsa. Sekarang telah banyak terdengar perkataan pimpinan, terpimpin, sebagai saran-saran untuk obat guna menyembuhkan apa yang kita anggap penyakit dalam kehidupan Bangsa kita.
Orang-orang dinegeri kita sudah menyetujui saja, sedangkan kerap kali belum lagi menyadarkan sungguh-sungguh apa yang terkandung dalam kata-kata sebagai: ekonomi terpimpin atau berencana, demokrasi dsb. Pada umumnya orang mengunakan perkataan pimpinan sebagai lawan atau obat terhadap kekacauan yang tampak atau terasa dalam kehidupannya. Terhadap kekacauan dalam lapangan ekonomi dikemukakan ekonomi yang terpimpin Terhadap kekacauan yang dirasakan dilapangan politik diharapkan suatu keadaan yang terpimpin teratur dalam kehidupan politik. Kerakyatan parlementer denga banyak partai politik seperti telah terjelma dinegeri kita dirasakan sebagai kekacauan dan terhadap itu sekarang dirasakan suatu kerakyatan yang ”terpimpin”. Dalam semua hal yang dikemukakan diatas ini kata pimpin dan terpimpin dihadapkan denga paham kekacauan, tidak teratur.
Memang pula didalam kekacauan ataupun didalam keadaan yang membinggungkan atau menyebabkan kekacauan jiwa, umumnya, manusia itu menghendaki dan rupanya memerlukan tuntunan dan pimpinan. Orang yang saleh, dalam keadaan begitu, bersembahyang memohon tuntunan jiwa dari Yang Maha Esa. Orang lain mencari pimpinan dan tuntunannya didunia diantara sesama manusia. Ia mencari pimpinan atau lindungan pada siapa yang dapat memimpin atau melindunginya.
Yang saleh mengikut apa yang dianggap petunjuk Tuhan. Yang lain hendak mengikuti jejak, pimpinan sesama manusia menunjukkannya jalan, mencari pemimpin atau pimpinan. Dengan lain perkataan keperluan akan pimpinan dan tuntunan itu adalah rupanya sifat jiwa kemanusiaan yang berada dalam kebinggungan atau didalam kekacauan, pada mana Ia merasa dirinya lemah atau kurang mampu serta ingin mengikuti pimpinan yang dirasakan lebih kuat dari dirinya sendiri. Yang memimpin memberi petunjuk, memerintah, yang dipimpin menurut petunjuk, tunduk pada perintah. Inti dari pada hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin memanglah bahwa yang satu memberi petunjuk atau perintah, yang lain menurut dan tunduk.
Tidaklah pula boleh mengherankan bahwa orang yang berkeyakinan adalah hukum alam atau kehendak Tuhan bahwa didalam kehidupan didunia ini, segala teratur dan tersusun sebagai sebagian yang memimpin atau diperintah, sedangkan pemimpin atau pemerintah yang tertinggi dianggapnya adalah Yang Maha Esa atau pengendara seluruh alam serta kehidupan ataupun alam sendiri kalau dia Atheist. Begitulah pada pokoknya pandangan hidup orang di zaman raja-raja ataupun di zaman feodal, di zaman itu orang memandang susunan kehidupan dalam dunia dan alam ini sebagai hierarohis. Jumlah yang menjadi pimpinan atau yang kuat itu tentu saja jauh kurang dari pada yang dipimpin atau yang lemah. Yang masuk golongan pimpinan adalah yang dianggap terpilih oleh Tuhan atau Alam sebagai yang lain dari pada yang banyak. Mereka ini adalah kaum elite alam atau selected few.
Ketika itu raja-raja pada umumnya dipandang sebagai kaum yang dipilih oleh Tuhan. Mereka ditakdirkan, untuk menjadi pemimpin golongan-golongan manusia. Sedangkan sebelunya, hanya yang sudah membuktikan paling kuat serta paling cerdas dan cakap didalam peperangan yang menjadi terkemuka dan dituruti serta ditaati oleh yang lain. Pimpinan sebagai raja adalah suatu pimpinan turun temurun yang asalnya adalah pimpinan yang diperoleh dengan dan oleh karena kelebihan kekuatan dalam banyak lapang kehidupan, pada mana yang lain merasa kelebihan kekuatannya yang diakui serta diterimanya sebagai pemimpin dan kepalanya.
Tidak pula mengherankan bahwa sifat-sifat kelebihan dari yang banyak, yang menjadikan orang pemimpin, kepala dan kemudian raja itu, asalnya adalah sifat-sifat kelebihan kekuatan didalam peperangan serta berkelahi. Didalam keadaan itu terutama orang yang banyak merasa takut dan merasa terancam dan selain dari pada itu juga gagah dan berani, yang memberi contoh, yang menghambat supaya ketakutan menjadi kehendak lari dari perkelahian. Yang kuat memperkuat yang lemah, yang kuat menjadi pelindung yang lemah, yang kuat yang mengatur dan memimpin. Ia menjadi raja dan kepala.
Didalam sejarah kemanusiaan selanjutnya kita lihat terhadap pimpinan Raja-raja menurut keturunan, sesudah beratus-ratus tahun dialamkan kesewenangan pemerintahan dan kerapkali tiadanya pimpinan dari Raja-raja dimana rakyat dan pengikutnya memerlukan pimpinan dan tuntunan serta perlindungan dari rajanya, timbulah pemberontakan terhadap Raja-raja itu. Hak souverein mereka untuk menjadi pemimpin dan raja disangkal. Disangkal bahwa kedaulata raja itu adalah yang diperolehnya dari Tuhan. Raja dituduh sebagai penipu yang telah dapat mencuri kedaulata dari rakyat yang diperintahnya. Kedaulatan seharusnya adalah ditangan rakyat. Rakyatlah yang harus berdaulat dan rakyat yang harus memerintah dirinya sendiri bukan pemimpin-pemimpin yang mengaku dan diakui Rakyat. Bukan pula Rakyat telah ditakdirkan untuk menurut perintah dan tunduk pada Pemimpin atau Raja.                
Mulailah zaman demokrasi dan Kedaulatan Rakyat yang kita kenal sekarang. Oleh karena demokrasi dengan ajaran kedaulatan rakyatnya adalah mulanya suatu pemberontakan terhadap Raja-raja pemerintah dan pimpinan mutlak yang ditakdirkan oleh Tuhan atau Alam, maka didalam ajaran demokrasi atau kedaulatan rakyat itu memang mulanya terkandung penentangan susunan yang selamanya menurut pengalaman adalah hirarkis serta dirasakan sebagai ajaran yang mempertahankan penindasan serta pengisapan, terdapat kecondongan melawan segala pimpinan dan susunan, yaitu terdapat bibit-bibit anarki. Tiadalah pula demokrasi itu merasa perlu memikirkan tentang soal pimpinan dalam kehidupan manusia. Segala pekerjaan serta kegiatan yang sebenarnya menyelesaikan berbagai persoalan pimpinan itu disebutkannya dengan nama-nama yang lain. Oleh karena itu maka untuk banyak orang perkataan seperti demokrasi terpimpin merupakan suatu sebutan yang mengandung dua paham yang bertentangan pada paham kerakyatan atau demokrasi itu dimengerti bahwa rakyat memerintah dan memimpin dirinya sendiri sedangkan jika ada pihak atau tenaga lain dari dirinya sendiri yang memerintahnya bukanlah keadaan begitu dapat disebut demokrasi. Apa yang dikehendaki denga demokrasi terpimpin itu kerapkali pula diartikan pembatasan kedaulatan rayat, rakyat supaya tidak berlanjut kekacauan menjadi sungguh-sungguh anarki,yang menyempitkan dan menyesakkan kehidupan.
Selain dari pada itu ajaran demokrasi dan kedaulatan rakyat, didasarkan atas memahamkan kehidupan dengan cara berpikir ligis. Ajaran demokrasi dan Kedaulatan Rakyat dianggap lebih sesuai dengan akal dari pada ajaran takdir atau ketentuan Tuhan, yang membenarkan susunan hirarki dunia dan alam feodal sebelumnya.
Ajaran Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat mengatakan bahwa yang paling berharga didalam kehidupan adalah akal berpikir. Akal berpikir, rasio itulah yang harus dijadikan pedoman dalam menentukan segalanya didalam kehidupan kita ini, bukan berbagai hal yang diterima oleh karena tidak dapat masuk akal seperti ajaran Agama, yang mempertahankan susunan hirarkis didalam dunia feodal itu. Reaksi terhadap Agama dan dunia feodal itu pada  suatu ketika memuncak sampai kian tingginya hingga orang mendirikan agama. Akal dan Ilmu pengetahuan pada mana diadakan suatu cara pemujaan terhadap Rasio dengan cara yang bertentangan dengan Rasio itu sendiri.
Didalam sejarah kemanusiaan tampak bahwa filsafat dan ajaran keperluan pimpinan yang tetap dan jelas didalam kehidupan, ajaran yang mengangkat paham pimpinan menjadi kunci dan pokok segala hidup bersama didunia adalah banyak dan rapat sangkut pautnya dengan ajaran Agama di zaman feodal itu, yang memahamkan dan mengajarkan susunan kehidupan sebagai hirarkis menurut kehendak Tuhan. Pada itu Penguasa Yang Tertinggi dikatakan adalah Tuhan sendiri dan dibawahnya didunia adalah mereka yang dipilihnya menjadi wakil-wakilnya untuk memimpin dan memerintah didunia. Sebaliknya ajaran demokrasi dan Kedaulatan Rakyat tampak rapat hubungannya pada perkembangan penghargaan akal berpikir dan resio sedangkan ada kecondongan untuk menentang ajaran-ajaran agama serta keutuhan. Begitun pula didalam ajaran demokrasi dan Kedaulatan Rakyat selalu ada kecendrungan, ada sedikitnya curiga atau prasangka terhadap paham dan kata pimpinan dan susunan dan aturan.
Ajaran Sosialisme yang kita kenal sekarang memeng mengandung unsur-unsur ajaran demokrasi dan kedaulatan Rakyat itu, akan tetapi ajaran Sosialisme adalah juga ajaran yang merupakan kelanjutan, lawan dari pada ajaran demokrasi serta Kedaulatan Rakyat yang tiada memperhatikan samam sekali kenyataan-kenyataan, bahwa dengan menyangkal hak memimpin secara mutlak dari pada ssesuatu golongan diantara kemanusiaan, belum lagi ada jaminan bahasa tidak akan ada atau terdapat penindasan dan penghisapan oleh suatu golongan terhadap golongan yang terbanyak. Sosialisme menentang ajaran demokrasi dan Kedaulatan Rakyat secara abstrak. Ajaran Sosialisme sama dengan demokrasi liberal, menolak ajaran tentang mutlaknya susunan hirarkis yang menjadi kepercayaan dan pedoman kehidupan di jaman feodal. Ia menolak pula ajaran yang mengatakan bahwa pimpinan adalah kunci dan dasar susunan kehidupan diantara kemanusiaan. Oleh karena itu, tiada pula sosialisme menunjukkan perhatiannya pada paham pimpinan dan artinya pimpinan itu untuk kehidupan manusia umumnya. Ajaran sosialisme sebaiknya mengatakan bahwa didalam suatu masyarakat yang sudah sungguh-sungguh sosialis, dimana tiada lagi dasar dan kemungkinan untuk menindas dan menghisap, oleh karena tiada lagi dasar pertentangan kelas didalamnya, memang soal pimpinan tiada lagi ada, dan tiada lagi daripada persamaan yang sungguh dimana tiada tempat untuk pemerintah-pemerintah yang satu terhadap yang lain. Dan anarki dalam arti yang lebih yang tinggi dan murni dapat dengan sungguh-sungguh diwujudkan. Jelaslah bahwa didalam ajaran sosialisme ada kecenderungan dan kecurigaan yang sama terhadap paham pimpinan seperti terdapat didalam ajaran demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Malah diajarkannya bahwa penyempurnaan demokrasi dan kedaulatan rakyat itu dengan sosialisme yaitu melanjutkan perwujudannya dilapangan ekonomi masyarakat, akan berakhir dengan anarki, pada mana tiap orang sungguh memimpin kehidupannya sendiri dan tiada orang memerlukan pimpinannya, pada mana tiada akan diperlukan lagi pemerintah, oleh karena tiap orang sudah sungguh sempurna dewasa didalam segala lapangan, dewasa ekonomis, dewasa dalam pengetahuan dan dewasa dalam kesadaran diri dan harga dirinya, tiada lagi ada yang merasa lemah dan takut. Tiap orang memikul tanggungjawab atas segala kehidupannya dengan tiada memerlukan pertolongan pemimpin dari luar.
Oleh karena itu, dasar pimpinan itu adalah bahwa ada yang lemah dan yang kuat, ada yang mengerti dan yang bodoh atau kurang mengerti, maka jika sosialisme sudah terwujud, tiada lagi akan ada yang lemah dan takut, yang harus dipimpin dan diperintah oleh yang kuat serta berani, atau yang bodoh atau kurang mengerti akan memerlukan tuntunan dari yang pintar dan lebih mengerti, maka memanglah pula apa yang terkenal sebagai ajaran kelenyapan negara atau the withering away of the state dan pemerintahan merupakan bagian yang penting daripada ajaran sosialime, meskipun sosialisme itu diajarkan oleh Marxs dan Engels, sosialime pada dasarnya hendak mencapai kedewasaan dan kebebasan kemanusiaan dan tiap manusia. Kedewasaan dan kebebasan yang besar-besarnya serta sesempurna-sempurnanya dengan melalui jalan: lebih dulu mengatur kehidupan itu dalam masyarakat dengan cara bersama-sama ataupun kolektif. Untuk dapat mengatur itu secara kolektif, sosialisme harus lebih dahulu memperjuangkan supaya memperoleh kesempatan atau kekuasaan.
Jadi sebelum sosialisme mencapai tingakatan peerwujudan yang memungkinkan withhering away of the state, lenyapnya susunan Negara Pemerintahan sebagai alat mengatur, memerintah dan memaksa, sosialisme menghadapi persoalan mengatur perjuangan untuk mencapai kekuasaan. Sosialisme didukung oleh berbagai gerakan dan berbagai organisasi serta partai politik. Tiada susunan dan partai politik apalagi susunan yang dimaksudkan untuk berjuang tidak boleh tidak harus merupakan susunan hierarkis, mesti mempunyai pembagian kekuasaan untuk memberikan perintah dan mengatur dari atas ke bawah. Mestilah: ada pimpinan yang tertinggi didalam organisasi itu yang mempunyai kekuasaan memutus yang harus dijalankan, sedangkan pengikut yang lain diharuskan menurutkan dan tunduk pada keputusan itu.
Malahan lebih revolusioner atau radikal ajaran sosialisme yang dianut biasanya lebih keras susunannya dan lebih hirarkis pembagian kekuasaan yang diwujudkan didalamnya. Hal ini paling jelas didalam susunan partai Bolshevik atau partai Komunis, didalam mana susunan dan disiplinnya lebih diutamakan dari ajaran sosialisme sendiri. Pada ajaran Bolshevik terdapat ajaran organisasi yang biasa mereka sebut demokratis-centralisme pada mana hierarkis kekuasaan didalam partai merupakan susunan yang lebih rapi lagi daripada susunan hierarkis didalam tentara, oleh karena meliputi juga ucapan, pikiran, pendapat ataupun jiwa anggota partai itu dan bukan perbuatan saja. Dari pemimpin partai Bolshevik, yaitu Lenin, sesuai dengan praktek partainya tentang perjuangannya sejak berdirinya, kemudian datang teori perjuangan merebut kekuasaan, yang jauh lebih luas daripada yang terdapat didalam manifes Komunis yang dikarang oleh Marxs-Engles. Yaitu ajaran-ajaran tentang siasat perjuangan untuk partai Bolshevik atau Komunis dan kemudian juga pikiran-pikiran yang lebih lanjut tentang ajaran diktator-proletar. Inti dan jiwa ajaran diktator-proletar seperti dikemukakan oleh partai Bolshevik itu sangat mengemukakan kedudukan pimpinan kaum proletar terhadap perkembangan kemanusiaan umumnya dan akhirnya pimpinan partai Bolshevik terhadap kaum proletar itu, sedangkan menurut kebiasaan dan adat istiadat didalam literatur sosialis perkataan memimpin dan pimpinan tidak digunakan sama sekali. Dikatakan bahwa partai Bolshevik adalah pelopor atau Avengrade daripada kaum proletar, dan kemudian bahwa partai komunis itu mewakili kaum buruh sepenuhnya oleh karena ia  yang dikatakan yang paling sadar dan mengerti kepentingan kaum proletar itu dan oleh karena itu selalu bersikap dan bertindak sesempurnanya untuk dan atasnama kaum proletar. Begitu kejadian diatas dasar pandangan dan pengertian demikian partai itu menjalankan diktator proletarnya.
Kalau kita tilik negara dimana kaum yang menamakan dirinya sosialis itu mempraktekkan diktator proletarnya, ternyata bahwa diktator proletar itu sunguh-sungguh merupakan susunan kekuasaan yang sangat hierarkis, dimana akhirnya pusat segala kekuasaan ada didalam tangan pemimpin partai Komunis atau Stalin, seperti di jaman absolutisme raja-raja. Sifat-sifat kekuasaan dan kekerasan dalam menjalankan pemerintahan serta memaksakan segala keputusan yang diambil oleh pimpinan partai Komunis untuk dijalankan dan ditaati oleh semua orang lawan ataupun kawan, dengan lain perkataan bukan saja kelas-kelas atau golongan-golongan yang lain yang hendak dilikuider dengan diktator itu, akan tetapi yang kelas atau golongan sendiri, yaitu golongan proletar yang tiada kemerdekaan untuk menentukan sarat-saratnya sendiri, dilarang mogok dengan ancaman hukuman mati, maka sifat-sifat memimpin tampak kerasnya dengan sifat memimpin raja-raja secara absolut di dalam abad pertengahan. Meskipun hal ini kian nyatanya, jika tidak dilupakan penggunaan dinegeri-negeri soviet itu kekuasaan polisi rahasia dan bahwa banyak jumlahnya kamp-kamp kosentrasi yang disitu penduduknya meliputi jumlah ratusan hingga jutaan manusia, pemerintah dan pimpinan negeri soviet itu menamakan dirinya pemerintah sosialis dan pemerintah proletar. Susunan hierarkis yang kian absolut dan keras tiada sama sekali diusahakan pembenarannya secara teoritis, tiada timbul dalam ajaran sovyet tentang ajaran pimpinan sosialis dan filsafat autoritair dan hierarkis kehidupan seperti di zaman feodal untuk membenarkan susunan masyarakat dan negara. Malahan yang sebaliknya tetap dikemukakan teori-teori dan ajaran-ajaran yang lama, yang berjiwa menentang susunan hierarkis kehidupan. Malahan untuk beberapa lama dikemukakan, bahwa diktaktur proletar itu, yaitu susunan hierarkis yang lebih sempurna lagi dari susunan hierarkis diabad tengah hanyalah suatu keadaan yang disesalkan, akan tetapi yang tidak dapat dihindarkan, sebab merupakan jalan satu-satunya untuk menuju kemasyarakatan Sosialis. Kalau sosialisme sudah tercapai, Negara akan lenyap dengan sendirinya. Begitu pula susunan kekuasaan yang menghendaki ada yang memerintah dan ada pula yang diperintah. Baru dikemudian hari ini ajaran-ajaran lenyapnya susunan kenegaraan, withering away of the state ini, hilang dari kamus politik dan kamus sosialis Negara Stalin.
Sedangkan di negeri Yugoslavia dikemukakan sebagai perbedaan dasar antara Yugosalavia dengan Uni soviet adalah bahwa Yugoslavia jalan yang ditempuh memang dengan sengaja menuju pada lenyapnya susunan kenegaraan. Dikatakan oleh kaum Bolshevik di Yugoslavia bahwa di Uni Soviet ternyata perkembangan adalah sebaliknya yaitu menuju pada bertambah kuat dan berpusatnya kekuasaan yang disusun secara hirarkis dan oligarkis. Sifat-sifat negara dan masyarakat paksaan itu dipandangnya, bertentangan sama sekali dengan jiwa dan tujuan Sosialis yang menghendaki kedewasaan dan pembebasan kemanusaiaan serta tiap-tiap manusia daripada kekurangan serta ketakutan.
Kaum pengeritik Sosialisme sebaliknya sudah lama mengemukakan bahwa Sosialisme yang dimaksudkan untuk membebaskan rakyat dan kemanusiaan itu pada nyatanya akan mendirikan Negara-negara paksaan didalam mana akan diatur seperti didalam tangsi serta pula pemerintah dinegeri-negeri Sosialis itu akan mempunyai kekuasaan yang memaksa lebih besar dari pemerintah yang liberal serta bukan sosialis, oleh karena pemerintah di negeri Sosialis itu akan juga menguasai sumber-sumber kehidupan semua orang. Mereka mengemukakan bahwa sosialisme dan kemerdekaan orang seorang yang menjadi syarat kedewasaan manusia itu adalah yang satu bertentangan dengan yang lainnya. Sosialisme hendak mengurus sebagian jauh lebih besar dari pada kehidupan orang dari pada pemerintah yang tida mencampuri perihal cara orang mencari nafkah atau rejekinya, asal saja tidak melanggar kertetiban umum, yaitu melanggar hukum pidana. Mereka ini mengemukakan pendapat bahwa kerakyatan adalah tidak dapat disesuaikan dengan sosialisme seperti yang diajarkan diktatur proletar mereka cenderung kepada autoritairisme.
Yaitu mengamggap orang seorang itu tiada berarti dibandingkan dengan apa yang dianggap perlu untuk masyarakat umumnya, dan oleh karena itu tidak akan menganggap hak-hak kemanusiaan yang mesti melindungi harga kemanusiaan itu, sebagai hal yang pokok, hal yang keramat. Kalau kita melihat pada praktek pemerintahan kaum bolshevik itu atas nama diktaur proletar tidak saja membatasi kemerdekaan kaum atau golongan yang bukan proletar, akan tetapi membatasi kebebasan orang pada umumnya apa saja kelasnya, seperti telah jelaskan lebih dahulu. Ternyata pula bahwa dinegeri-negeri itu meskipun orang tidak suka memakai kata pemimpin atau pimpinan melainkan dalam perkataan pimpinan kolektip, digunakan sepenuhnya suasana dan keadaan pada mana rakyat banyak itu merasa diri bodoh, takut dan memerlukan perlindungan dengan sikap seakan-akan lindungan satu-satunya yang dapat diperoleh rakyat yang merasa lemah dan takut itu hanyalah dari partai bolshevik yang harus disegani ataupun ditakuti kian rupanya sehingga tiada dapat timbul pikiran akan menentangnya atau tidak dapat tunduk pada pemerintah dan tuntunannya. Dengan itu memang pula terbukti bahwa Marxisme yang dipahamkan seperti oleh kaum Bolshevik itu memang autorirair, memang mengandung unsur-unsur yang berlawanan dengan tujuan mendewasakan dan membebaskan kemanusiaan.
Kaum sosialis yang berdasarkan atas kemanusiaan pun tidak dapat menerima bahwa praktek seperti yang dipertunjukkan oleh kaum komunis itu didalam menggunakan kekuasaan yang ada dalam tangan mereka sebagai sesuai dengan jiwa sosialis. Mereka mengatakan bahwa kaum Boselvik telah ternyata menempuh jalan yang salah dalam menuju kepada perwujudan sosialisme. Diberbagai negeri dimana kaum Boselvik berhasil memegang kekuasaan negara, ternyata bahwa mereka kerap berhasil menambah jaminan kehidupan untuk orang banyak, berhasil untuk mengatur mengerjakan dan  mengusahakan sumber-sumber hasil negeri dan masyarakat mereka berhasil menambah kekayaan dan masyarakat umumnya, akan tetapi ternyata pula bahwa rakyat banyak lebih diperbudak dan lebih diperlakukan seperti budak dari pada waktu zaman kapitalis yang membiarkan rakyat banyak itu mati kelaparan jika tidak berhasil memperoleh pekerjaan untuk nafkah hidupnya. Perut orang dinegara itu pada umumnya lebih terjamin akan tetapi jiwanya sungguh-sungguh dibelenggu untuk kepentingan kaum yang berkuasa, yaitu kaum Bolsevik yang selalu berkedok pelopor kaum proletar itu. Keadaan yang demikian oleh sosialis yang mendasar sosialismenya atas derajat kemanusiaan atau human dignity ditolak, mereka mengatakan bahwa tujuan sosialisme itu bukanlah hanya menghilangkan kelaparan dan kekurangan jasmani melainkan sungguh-sungguh mendewasakan kemanusiaan, yaitu mencapai keadaan kemanusiaan pada mana ia tidak perlu lagi diperintah dan dipaksa, apalagi ditindas dan dihisap. Penghilangan kelaparan dan kekurangan, atau kemiskinan umumnya bagi mereka hanyalah syarat-syarat penting. Keadaan pada mana kelaparan dan kemiskinan dapat dihilangkan akan tetapi didirikan perbudakan baru, dikembangkan jiwa penakut dan pengemis, jiwa budak antara rakyat banyak yang dijamin piring nasinya itu. Janganlah sekali-sekali disamakan apalagi dinamakan sosialisme. Sebab jaminan hidup si budak itu telah terdapat dizaman feodal, atau pada tiap hewan yang dipelihara oleh tuan pemiliknya.
Maka oleh karena itu kaum sosialis yang mendasarkan sosialismenya atas derajat kemanusiaan, menolak Boselvisme sebagai asing dari pada sosialisme yang sebenarnya, meski pun ia mengaku dirinya sosialisme atau Marxisme yang paling konsekwen dan atau revolusioner yang sejati. Kaum sosialis modern menolak sama sekali bahwa jalan totalitair dan autoritair, yang dinamakan jalan diktatur proletar itu adalah satu-satunya jalan yang menuju kepada perwujuda sosialisme yang sudah menjadi cita-cita sebagai kemanusiaan untuk sekian lamanya.
Sosialisme yang berdasarkan pada derajat kemanusiaan mengakui bahwa untuk meletakan dasar-dasar masyarakat sosialis itu, diperlukan penyusunan, organisasi, dan bahwa didalam penyusunan dan organisasi itu diperlukan pimpinan yang pula pada suatu waktu dinamakan oleh Marx dan Engels diktatur proletar akan tetapi pada itu ditekankan pada kaum sosialis modern bahwa tidak dapat diadakan penghianatan terhadap derajat kemanusiaan. Tidak mungkin kaum sosialis boleh mendirikan suatu hierarkis baru yang ternyata adalah perbudakan baru dari pada kemanusiaan pada umumnya atau sedikitnya perbudakan baru dari pada bagian kemanusiaan yang terbesar. Kaum sosialis yang lebih modern ini tidak menganggap perlu menggunakan siasat burung unta bahwa untuk mengatur ekonomi pada tingkatan sejarah kemanusiaan dewasa ini, perlu diadakan pimpinan, yang mengakibatkan pembatasan kemerdekaan bersaing dilapang itu, akan tetapi ia menolak untuk menggunakan negara sebagai patung untuk mencapai ekonomi seperti yang dikehendakinya itu. Ia menolak keharusan untuk menggunakan kekuasaan polisi rahasia serta kosentrasi kamp untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pengertian pimpinan yang dikemukakan mereka didalam sebutan ekonomi terpimpin atau ekonomi berencana, bukanlah berarti, bahwa kaum sosialis akan memaksakan segala rencana ekonominya terhadap masyarakat supaya dilaksanakan dengan semata-mata menggunakan paksaan, teror dan propaganda membujuk dengan menipu, seperti yang dikerjakan oleh kaum Boselvik didalam praktek pemerintahan dan perjuangannya.
Bagi kaum sosialis ini menjadi persoalan yang pokok dalam segala usahanya untuk melaksanakan usahanya dalam ekonomi terpimpin dan ekonomi berencana, bahwa tiada dipungkiri hak-hak kemanusiaan tiap anggota negara dan masyarakat, bahwa segala yang sedang diusahakan serta dipikirkan selau dijunjung tinggi derajat kemanusiaan yang menjadi tujuan terakhir dari segala usaha sosialisme itu. Ekonomi terpimpin atau ekonomi berencana bagi mereka sekali-kali tidaklah boleh dengan sengaja atau tidak mendirikan perbudakan kembali, menghancurkan rasa harga diri rakyat banyak sebagai manusia, malah sebaliknya. Kemajuan yang dicapai dilapangan ekonomi harus pula seimbang dengan kemajuan dalam sikap serta jiwa rakyat banyak itu pada segi rasa harga dirinya serta kecakapannya untuk mengatur dirinya secara yang lebih luas dan lebih sempurna. Jika hal itu tidak tampak dengan nyata maka haruslah disangsikan dan dikuatirkan bahwa jalan yang ditempuh benar menuju pada tujuan masyarakat sosialis, pada mana terdapat kemanusiaan yang dewasa. Sebaliknya dari pada keadaan pada mana manusia hidup dalam perbudakan, yaitu dibelenggu dan dihisap pada mana teror dan ketakutan pada yang berkuasa meliputi jiwanya.
Bagi kaum sosialis modern paham pimpinan dan penyusunan dapat diberikan arti yang berlainan dengan apa yang telah dialamkan dalam sejarah kemanusiaan, yaitu bahwa hubungan kemanusiaan menurut faham pimpinan itu mesti membawa akibat bahwa yang lebih kuat memerintah, menindas dan menghisap yang lemah, bahwa dalam faham pimpinan tidak mungkin terdapat persamaan, yang menjadi dasar demokrasi atau kerakyatan, bahwa jika ada pemimpin yang memimpin ada yang dipimpin, ada yang membatas dan ada yang dibatasi untuk kesenanmgan yang membatas dam memimpin. Sedangkan yang mempmpin dan membatasi selalu kecil jumlahnya dan ynag dibatasi kemerdekaan dan kehidupannya selalu ada golongan terbanyak yang rata-rata dan biasa keadaan serta kesanggupannya. Yang memimpin merupaka golongan istimewa, the heppy few, yang dipimpin rakyat murba, the crowd. Selama kemungkinan dan bahaya yang terdapat dalam hubungan antara manusia seperti yang memimpin dan yang dipimpin itu disadarkan sungguh-sungguh, dengan pengalaman yang kita peroleh didalam sejarah kemanusiaan serta dengan peralatan ilmu pengetahuan meski dapat dihindarkan terbentuknya kembali susunan masyarakat dan kehidupan yang pada pokok serta pada intinya hirarkis dan oligarkis, pada mana sejumlah kecil orang-orang yang memegang kekuasaan dapat melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat banyak. Haruslah didasarkan bahaya itu dizaman kita sungguh pula ada dan besar. Kemanusiaan umumnya menang dizaman kita lebih jauh pengertian dan kecerdasan dari pada zaman feodal. Ilmu pengetahuan dan teknik sekarang jauh lebih tinggi dari pada dizaman feodal. Kecakapan dan kesanggupan kemanusiaan untuk mempergunakan dan menundukkan alam pun sudah jauh lebih berlanjut serta maju. Begitu pula telah berlanjut pembagian pekerjaan didalam lapangan kerja didalam segala lapangan kehidupan. Akan tetapi justru oleh karena ini semuanya, bertambah besar pula kekuasaan mereka yang memimpin dan menyusun. Bertambah pula kekuasaan mereka yang menjatuhkan segala yang oleh perkembangan dan kemajuan teknik telah menjadi terpisah. Yang berkuasa serta mengendalikan susunan, organisasi-organisasi modern, jauh lebih kuat kedudukannya terhadap yang lain, oleh karena peralatan pengetahuan serta lengkap alatnya jauh lebih banyak, dari pada zaman feodal. Ingatkan sayalah pada pimpinan suatu perusahaan besar yang menguasai kehidupan puluh sampai ratusan ribu kaum kerja, apalagi kedudukan suatu pemerintahan didalam suatu negeri yang memiliki peralatan untuk memaksa setingkat dengan ilmu pengetahuan dewasa ini. Pengetahuan dan kecerdasan manusia pada umumnya memng jauh lebih maju dari pada tingkatan manusia rata-rata dizaman feodal, yang belum dapat menggunakan lampu listrik atau sepeda motor. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan golongan kecil yang menguasai ilmu pengetahuan sekarang, maka ternyata bahwa kurang antara yang memimpin dan menguasai dengan pengetahuan dan kemampuan orang dizaman kita ini rata-rata, maka jelaslah sudah jauh pula bertambah besar kedudukan dan kekuasaan golongan yang sedikit itun terhadap golongan yang banyak. Tampak pula berapa besar kemampuan golongan ynag kecil, yang istimewa, golongan elite dan happy few, itu untuk menguasai yang banyak dengan teknik dan peralatan modern untuk menguasai dengan kekerasan.
Tampak pula berapa besar bahaya yang terkandung didalam perkembangan suatu kemanusiaan yang tidak berpegang kepada rasa persamaan, serta tidak berpegang pada derajat kemanusiaan, human dignity sebagai salah satu nilai yang tertinggi didalam kehidupan kita sebagai manusia yang dewasa ini. Penyusunan yang memerlukan pimpinan itu menjadi syarat dalam kehidupan modern, yang didasarkan pada teknik dan ilmu pengetahuan elektronik serta tenaga atom. Akan tetapi janganlah sampai terjadi bahwa elektronik dan tenaga atom itu dapat menguasai seluruh kehidupan manusia sampai kerohaniannya pun juga. Demikian itu terjadi benar maka benar akan dapat terwujut suatu sususnan hirarkis baru, pada mana golongan yang menguasai kehidupan manusia lebih kecil lagi mungkin dizaman feodal. Akan dapat timbul zaman diltaktur modern, yang didasarkan atas ilmu elektronik dan tenaga atom. Perbudakan modern yang begitu tampaknya kurang kemungkinannya untuk berlalu oleh pemberontakan pihak yang diperbudak dari pada pemberontakan budak-budak terhadap kaum feodal diabad tengah.
Oleh karena itu maka pemecahan soal pimpinan didalam kehidupan modern adalah suatu keharusan pokok dan utama. Didalam usaha penyusunan harus diletakkan dasar-dasar yang menjamin tidak akan terjadinya pemusatan kekuasaan dalam tangan beberapa orang yang diberi kesempatan untuk menjadigolongan elite penguasa, golongan feodal baru, haruslah selamanya diadakan jaminabn kerakyatan atau demokrasi, yang tidak memungkinkan menjadi kekal dan abadinya kedudukan orang-orang yang diberikan tugas memimpin itu. Tidaklah cukup seperti dibuat oleh kaum Boselvik, untuk menganggap bahwa jika orang-orang itu adalah orang-orang yang membuktikan bahwa mereka mengetahui betul logat Marx dan Engelsnya, berasal dari golongan proletar, dan oleh karenanya dapat dianggap tidak akan menjadi diktatur. Stalin telah membuktikan bagaimana salahnya anggapan itu. Pengalaman dengan stalin itu seharusnya memaksa kaum Boselvik memaksa kembali cara mereka berpikir hingga sekarang ini. Soal itu masih jauh penyelesaiannya dengan hanya mengemukakan semboyan baru seperti : pimpinan kolektip. Ternyata bahwa akhirnya stalin berhenti menjadi diktatur, hanya oleh karena dia mati karena uzurnya. Patut pula diperingatkan bahwa sampai diwaktu itu diktatur stalin itu tetap menamakan dirinya diktatur proletar, berdasarkan ajaran Marx dan Engels seperti telah ditaksirkan dan diperlengkap oleh Lenin dan Stalin sendiri.
Pengalaman dengan stalin itu seharusnya bukanlah pula menjadi suatu pengalaman dan pelajaran untuk kaum Boselvik saja akan tetapi ia harus pula menjadi pengalaman dan pelajaran untuk seluruh kemanusiaan. Juga untuk kaum sosialis ynag sebelumnya sudah menolak jalan yang ditempuh oleh kaum Boselvik itu, serta sekarang dapat menepuk diri didada dengan menunjukkan bagaimana benar tujuannya diwaktu yang lalu. Sebab pada pokoknya apa yang terdapat di Uni-Soviet sebagai soal stalin itu, terdapat sebagai kemungkinan dan bahaya didalam tiap hubungan diantara manusia sebagai pimpinan dan pengikut yang dipimpin. Bahaya itu dapat diatasi dan dielakkan jika kita mengetahui segala syarat-syarat serta jalan-jalan untuk mengatasi atau menghindarkannya. Syarat yang paling pokok dan utama adalah seperti telah berkali-kali dan berulang-ulang dikemukakan didalam pembicaraan ini bahwa sosialisme didasarkan atas derajat kemanusiaan. Syarat yang lain adalah bahwa ditetapkan sebagai tujuan segala sosialisme dan segala kemajuan umumnya adalah kedewasaan kemanusiaan, serta bukan kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan saja dan bukan pula kemajuan didalam kecakapan masyarakat menjamin kehidupan jasmani anggota-anggotanya, meskipun untuk itu bahagian yang terbesar dari pada masyarakat iu harus diperlakukan sebagai budak atau manusia kelas empat, yang kemauan, kehendak, perasaan serta pikirannya tidak berarti bom para pemimpin atau pengatur.
Sosialisme yang dianut oleh Partai Sosialis Indonesia adalah termasuk dalam sosialisme modern ini, dipandang dari sudut sikapnya serta pendapatnya tentang persoalan pimpinan dalam gerakan serta perjuangan sosialis. Kita di Indonesia mengerti bahwa pimpinan lebih besar lagi dinegeri-negeri yang termasuk negeri yang teknik serta kerjasamanya terkebelakang dari padadinegeri-negeri yang telah mencapai tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi, terutama selaki seperti dinegara barat. Dinegeri-negeri barat itu, dimana tiada lagi analfabetisme, dan dimana tingkat kehidupan orang sudah jauh lebih tinggi, diman penggalaman orang dengan menjalankan pemerintahan kerakyatan sudah lebih lama dan banyak pula, kurang ada bahaya terbentuknya hirarkis atau susunan feodal baru. Dinegeri-negeri barat dimana di-icthiarkan suatu ekonomi terpimpin atau suatu ekonomi berencana disitu, kecerdasan dan pengertian rakyat merupakan suatu halangan yang besar untuk menyelewengnya ekonomi yang diatur itu menjadi tangsi dan kekangan untuk kehidupan seluruh manusia yang hidup didalam lingkungannya. Pemerintah ynag secara teoritis dapat diganti tiap hari menurut undang-undang dasar, tidak berganti-ganti untuk masa yang cukup lama untuk dapat mengerjakan tugasnya yang diberikan padanya menurut rencana pembangunan yang telah pula lebih dahulu disetujui secara demokratis parlementer. Segala ini mungkin oleh karena pengertian dan kecerdasan rakyat umumnya telah mencapai tingkatan yang kian tingginya, sehingga telah menyanggupkan mereka untuk membahankan keperluan pimpinan atau pemerintahan pada cukup waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Demokrasi di negeri-negeri yang mempunyai ekonomi berencana itu tidak menimbulkan kecenderungan pada kekacauan politik maupun ekonomi. Malahan sebaliknya. Demokrasi dinegeri-negeri seperti di Scandinavia atau di negeri Eropa barat lainnya itu, merupakan kehidupan yang sangat teratur, sedangkan pula jauh dari pada merupakan hirarkis feodal seperti didalam negeri fascis atau disuatu negeri yang dikuasai oleh kaum Boselvik. Dinegeri-negeri ini dibanding dengan dilain-lain negeri didunia hak-hak kemanusiaan orang-seorang jauh lebih dihormat, sedangkan orang-orang yang hidup didalam lingkungannya pun ternyata lebih sadar akan derajat kemanusiaannya dari pada dinegeri-negeri lain. Dinegeri-negeri ini sipengikut pun lebih waspada dan kritis terhadap segala macam pimpinan disegala lapangan. Juga terhadap pemerintahnya. Orang sungguh-sungguh merdeka berpikir, berkeyakinan, beragama, serta pula merdeka menyatakan dan mengucapkan keyakinanyam asal saja tidak melanggar aturan hukum pidana. Dinegeri-negeri ini pada umumnya rasa tanggung jawab anggota masyarakat terhadap pergaulan hidup bersamanya pun lebih besar dari pada dilain-lain negeri dimana rakyatnya kebanyakkan menyerahkan segala-galanya kepada pimpinannya didalam segala lapangan. Juga dilapangan mengurus negara.
Didalam segala hal yang disebutkan ini keadaan adalah sangat berlainan dinegeri-negeri yang disebutkan terbelakang atau under-developed itu. Adalah menjadi suatu kenyataan bahwa rakyat didaerah-daerah yang underdeveloped itu oleh karenanya jauh lebih jauh lebih banyak memerlukan pimpinan dan tuntunan didalam segala bidang hidupnya. Rakyat-rakyat dinegeri-negeri yang underdeveloped, yang terdiri dari sebagian besar orang-orang yang buta huruf  dan tiada pernah bersekolah apalagi membaca koran tentang kejadian-kejadian didalam negeri jangankan kejadian didunia dan diluar negeri, tiada atau kurang berpengalaman politik untuk mengurus diri sendiri jika dibanding dengan rakyat dinegeri-negeri yang sudah lebih maju. Segala hal yang bersangkutan dengan hal yang lebih besar dan luas dari pada lingkungan kehidupan mereka yang kecil-kecil, boleh dikatakan disejarahnya seluruhnya pada pemimpin-pemimpin. Sedangkan peralatannya serta kesanggupannya untuk menguji pikiran, perbuatan orang-orang yang diterimanya menjadi pimpinan itu, pun jauh lebih kurang dari pada rakyat murba dinegeri-negeri yang telah lebih maju, atau yang developed. Hal ini menyebabkan bahwa bahaya-bahaya seperti yang dikemukakan diatas bersangkutan dengan soal pimpinan adalah jauh lebih besar dinegeri-negeri yang underdeveloped ini dari pada dinegeri-negeri yang developed. Bahaya bahwa pimpinan dinegeri-negeri yang underdeveloped akan menyeleweng kearah hirarkis dan susunan feodal baru, jauh lebih besar dinegeri-negeri yang underdeveloped ini dari pada dinegara-negara yang developed.
Oleh karena itu perlu syarat-syarat untuk menjamin pimpinan yang akan dapat menghindarkan yang salah seharusnya lebih banyak dan lebih berat didaerah underdeveloped dari dinegeri-negeri yang developed. Jika tidak, akan tidak pula dapat dihindarkan perkembangan kejurusan pembentukan golongan kecil yang akan menggunakan kedudukannya sebagai pimpinan, mengekalkan kedudukan itu dengan mendirikan susunan hirarkis yang feodal, yang akan memperlakukan dan mempergunakan rakyat banyak sebagai budak untuk kepentingan golongan yang berkuasa itu. Tidaklah pula mengherankan bahwa didaerah-daerah yang underdeveloped, tampaknya ynag paling menarik adalah perkembangan kejurusan diktatur kaum bangsawan, raja atau militer, atau sebaliknya diktatur proletar seperti yang disuguh oleh kaum Boselvik. Keadaan dan susunan seakan-akan mengandung perkembangan kejurusan pembentukan golongan kecil yang akan mempergunakan kelemahan dan kekurangan pengetahuan serta kecerdasan dan kewaspadaan rakyat banyak itu, untuk dirinya dan golongannya. Dengan lain perkataan desakan kejurusan pemerintahan diktatur dinegeri-negeri yang underdeveloped ini tampaknya nyata lebih besar dari pada dinegeri-negeri yang developed.
Segala ucapan tentang perlunya penyusunan dan pimpinan dinegeri-negeri yang underdeveloped haruslah dinilai dengan memperhatikan berbagai hal yang dikemukakan diatas.kekurangan didalam segala hal, yang terdapat dinegeri-negeri yang underdeveloped itu menyebabkan bahwa segala usaha untuk keperluan umum tidak berjalan atau dikerjakan dengan jelek dan banyak cacat. Begitu juga usaha mengurus negara. Hal ini menimbulkan perasaan bahwasegala kekurangan itu disebabkan oleh karena terlalu banyaknya kemerdekaan diantara rakyat, sehingga menimbulkan kekacauan yang dinamakan oleh orang-orang didaerah itu sebagai anarki dalam arti yang buruk, yaitu sama dengan tyrannie antara semua terhadap semua. Anarki dimaksudnya sebagai keadaan dimana tiada pemerintahan yang menyebabkan orang berbuat semuanya dan menyebabkan bahwa semua orang takut dengan semua orang. Sehingga kehidupan menjadi sesak dan sempit, lebih sesak dan sempit lagi dari pada hanya jika satu golongan yang kecil saja- kaum feodal atau kaum komunis- yang melakukan tindasan serta penghisapan terhadap orang banyak itu. Terhadap keadaan yang demikian dapat dimengerti bahwa akan timbul jeritan serta permintaan : ORDE DAN PIMPINAN. Alasan pokok dari pada tiap diktatur. Alasan pokok dan filsafat susunan hirarkis dizaman feodal diabad tengah, yaitu orde yang ditetapkan oleh Tuhan dan Pimpinan yang ditetapkan oleh Tuhan, susunan hirarkis, pada mana kaum bangsawan berada dipuncak dan yang mendukung mereka dibahunya adalah golongan-golongan yang lain, sedangkan yang bekerja dengan memeras keringat adalah kaum budak yang mengerjakan tanah-tanah yang dimiliki oleh kaum bangsawan itu. Padahal jika ditilik dengan seksama maka ternyata bahwa kekacauan, bukan karena disebabkan oleh karena telah kebanyakan kemerdekaan diantara rakyat, akan tetapi oleh karena tekat-tekat dan kekurangan pada golongan pimpinan golongan terutama. Mereka yang berpolitik, mereka yang berebut kekayaan dan berebut kedudukan serta kekuasaan. Mereka yang menimbulkan kekacauan dan keadaan yang ditimbulkan mereka itu pula sebenarnya hendak dijadikan alasan untuk mendirikan golongan diktatur mereka pula. Benar bahwa kerap kali perkembangan ini terjadi dengan tiada niat oleh golongan pemimpin ini sendiri. Akan tetapi bagaimana pun juga hasilnya dari pada perkembangan yang demikian biasanya tidaklah lain daripada pengekenagan dan penghisapan rakyat yang lebih besar dan lebih banyak lagi. Dan alasanya untuk itu adalah bahwa rakyat memperoleh lebih banyak keamanan dan kepastian dengan terbentuknya Rust dan Orde, dibawah pimpinan yang kuat.
Partai Sosialis Indonesia sebagai organisasi yang berkeyakinan, sosialisme yang berjiwa kemanusiaan, sadar bahwa ia hendak mencapai cita-citanya didalam suatu negeri yang termasuk negeri yang underdeveloped. Oleh karena itu ia sadar pula bahwa itu berarti bahwa ia harus bekerja dengan tekanan-tekanan keadaan serta sejarah seperti yang digambarkan diatas. Ia sadar bahwa memperjuangkan sosialisme kerakyatan yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, menghormati hak-hak kemanusiaan, berjiwa kemanusiaan, jauh lebih berat di negeri-negeri underdeveloped ini daripada di negeri-negeri yang sudah developed. Akan tetapi meskipun begitu, ia tahu pula bahwa memperjuangkan sosialisme kerakyatan di Indonesia harus dilakukan terhadap segala tekanan dan kecenderungan yang lain itu, oleh karena itu jika tidak negara kita akan hanyut lebih menjauh daripada sosialiseme yang sesungguhnya, daripada kedewasaan kemanusiaan. Maka oleh karena itu saja menganggap bahwa sangatlah perlu menarik perhatian saudara-saudara serta selayaknya ramai umumnya pada seluk-beluk, kemungkinan dan bahaya yang terkandung pada pimpinan, yang di kemudian hari ini lebih tersebar dan populer di dunia politik negeri kita. Partai Saya dan Saya sendiri sejak lama sudah menganjurkan cara bekerja yang teratur dengan cermat untuk pemerintah di negeri ini. Kami pun sudah sejak di Jogja menganjurkan ekonomi berencana dan mengurus negeri menurut rencana, akan tetapi pada itu kami tiada memaksudkan cara bekerja seperti yang dilakukan di negeri-negeri dimana kaum Bolshevik berkuasa atau di negeri-negeri yang dikuasai kaum Fasis dan kaum Hitler atau kaum Tojo dan Tenno dahulu. Yang kami maksudkan adalah mempimpin negeri, memimpin pembangunan, memimpin ekonomi, dengan dan dalam semangat sosialisme kerakyatan, seperti kami ikhtiarkan menjelaskannya tadi. Sebelum kita lanjutkan usaha kita sebagai bangsa dan rakyat mencari dan membentuk pimpinan baru, yang kita harapkan akan lebih kuat daripada yang sudah-sudah itu, memang baik jika dipikirkan juga agak lebih jauh, apa seluk-beluknya pimpinan pada umumnya dan bagaimana keadaan di negeri sendiri bersangkut dengan itu kasusnya. Kita semua yang menurut keadaan dan kenyataan termasuk dalam golongan dan pemimpin ini, oleh karena itu kita nmempuinyai kecerdasan sediktinya latihan yang jauh lebih banyak dan besar untuk memahamkan keadaan di dalam dunia dan di negeri kita daripada jutaan rakyat banyak yang buta huruf ini, kita terutama harus berusaha menambah jika tidak memperdalam pengertian kita terhadap persoalan pimpinan itu supaya jika kelak kita turut berbuat, turut memilih, dan menuntukan kejurusan mana nasib dan sejarah bangsa dan rakyat akan melanjutkan perjalanannya, kita telah berbuat begitu dengan pengertian dan dengan tanggungjawab yang lebih besar.





Ceramah Bung Sjahrir
Dalam Peringatan Dies Natalis
Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia
16 Oktober 1957
Bandung

Sejarah Organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis

Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) lahir dari kritik atas kegagalan gerakan mahasiswa '98 dalam mengawal proses Reformasi. Didirikan di Universitas Nasional pada 5 November 2004 oleh beberapa orang mahasiswa dari beberapa elemen kampus. Diantaranya dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Bung Karno, Universitas Jayabaya dan Universitas Nasional.